27 April 2014

Transcendence: IPTEK Tanpa IMTAQ

Poster Film TRANSCENDENCE
Waktu gue diajak nonton film 'I,Frankenstein' beberapa bulan yang lalu, ada trailer film yang keren bingits. Di trailer itu, ditampilkan cuplikan film yang berbau fiksi ilmiah gitu. Ada manusia yang bisa dimasukin ke komputer. Ada kekuatan yang bisa bikin barang rusak bisa jadi bener lagi. Berhubung gue kuliah di TI, jadi gue pengen nonton film itu. Emm, alasannya nggak banget ya --" Enggak sih, nggak cuma itu alasannya. Gue pengen nonton karena gue merasa dijanjikan dengan sebuah film yang luar biasa dahsyat dari segi jalan cerita maupun dari segi teknologi yang digunakan. Akhirnya, gue menunggu film itu tayang.

TRANSCENDENCE.

Gue bukan termasuk penikmat film yang nonton film karena 'siapa' nya. Entah itu siapa aktornya, siapa aktrisnya, siapa sutradaranya, siapa penulis skenarionya atau siapapun yang ada di film itu. Ketika gue merasa pengen nonton ya nonton aja. 

Film ini diawali dengan sebuah presentasi yang dilakukan oleh Will Caster (Johny Deep) serta istrinya Evelyn (Rebecca Hall). Keduanya merupakan ilmuwan yang sedang melakukan riset dan pengembangan teknologi Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan yang disebutkan dapat melebihi kecerdasan para pakar dan ahli apabila digabungkan. Artificial Intelligence diharapkan menjadi sebuah solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi dunia saat ini. Kecerdasan buatan tersebut dapat menyembuhkan kanker, menciptakan udara yang bebas polusi serta dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Seorang peserta dalam presentasi tersebut kemudian bertanya, "Jadi, apakah Anda ingin menciptakan Tuhanmu sendiri?".

Dari pertanyaan tersebut, gue kemudian langsung bisa menebak jalan ceritanya akan seperti apa. Ini pasti tentang teknologi yang dikembangkan sedemikian rupa sehingga bisa amat sangat mempermudah manusia dalam hidupnya. Namun disisi lain, gue merasa akan ada yang salah dari pengembangan teknologi tersebut. Tapi karena gue takut sotoy, jadi gue nonton aja lanjutannya.

Selesai melakukan presentasi, Will ditembak oleh seseorang tak dikenal yang ternyata merupakan anggota dari R.I.F.T atau Revolutionary Independence From Technology. Beruntung Will tidak mati ditempat. Akan tetapi setelah menjalani pemeriksaan, Will dihadapkan pada kenyataan bahwa hidupnya hanya bersisa 4 sampai 5 minggu lagi dikarenakan peluru yang digunakan untuk menembaknya telah dilapisi oleh polonium, sebuah racun yang radiasinya dapat mematikan. Mengetahui hal tersebut, Evelyn sangat sedih. Kemudian, ia teringat pada sebuah robot hasil ciptaan Will yang disebut P.I.N.N (Physical Independent Neural Network). P.I.N.N telah memiliki kecerdasan buatan yang sedang dikembangkan tersebut, sehingga ia dapat mendeteksi keberadaan seseorang. Namun, P.I.N.N masih dalam tahap pengembangan. Demi menyelamatkan Will, Evelyn dibantu Max Waters (Paul Bettany) mengambil beberapa core atau inti dari P.I.N.N kemudian secara bertahap mengunggah kesadaran dan memory Will selama sisa hidup yang dimiliki oleh Will.

Ketika Will betul-betul meninggal, kesadaran dan memorynya telah terpindah ke superkomputer. Kemudian Evelyn mencoba untuk berkomunikasi dengan Will, namun tidak berhasil. Setelah diduga gagal, komputer tersebut memberikan sinyal dengan mengeluarkan sebuah kalimat yang berbunyi, "Apakah ada orang disana?". Mengetahui hal tersebut, Evelyn senang bukan main. Tapi sebaliknya, Max meminta Evelyn untuk segera mematikan komputer tersebut karena ia tidak yakin bahwa itu adalah Will. Sayangnya, Evelyn malah mengusir Max keluar dari ruangan itu. Yah,siapa juga yang nggak seneng kalau orang yang dicintai bisa 'hidup' lagi? Setelah beberapa kali berdialog, Will meminta Evelyn untuk menghubungkan ia dengan jaringan internet agar dapat mengakses jaringan internet di seluruh dunia. Cara tersebut dilakukan untuk menjadikan Will abadi.

Max ditangkap R.I.F.T yang berusaha mencegah agar proyek Will tersebut tidak dilanjutkan lagi. Sementara Max ditangkap, Evelyn dibantuk Will sudah berhasil membuat laboraturium bawah tanah serta pembangkit listrik tenaga surya di sebuah kota terpencil bernama Brightwood dalam skala yang sangat besar. Karena sudah tersambung dengan internet, Will dapat mengakses apapun. Bahkan ia dapat memasukkan uang dengan jumlah yang sangat banyak ke rekening Evelyn. Seharusnya, ini sudah jadi tindakan kriminalitas.

Di dalam laboraturium yang sangat canggih itu, Artificial Intelligence yang menjadi ambisi Will dan Evelyn kembali dikembangkan. Will telah berhasil menguji coba teknologi nano kepada tumbuhan yang mati, lalu kepada salah satu pekerja di laboraturium tersebut yang babak belur dihajar preman menjadi sembuh seperti sedia kala hanya dalam waktu yang sangat singkat. Namun, karena ia dapat disembuhkan dengan teknologi nano tersebut, Will dapat masuk ke tubuh orang tersebut selama ia tersambung dengan internet. Mengetahui hal tersebut, banyak orang sakit yang kemudian berobat ke laboraturium Will. Orang yang disembuhkan dengan teknologi nano akan memiliki kekuatan berlipat ganda dibandingkan dengan manusia biasa. Selain dapat menyembuhkan penyakit, Will juga dapat memperbaiki peralatan yang rusak, bahkan dapat menciptakan hujan. Semua itu dikendalikan oleh Will yang ‘hidup’ dalam sebuah komputer.

Pimpinan R.I.F.T menjelaskan alasan ketidaksetujuannya terhadap proyek tersebut padahal dulunya ia adalah salah satu anak buah dari salah satu ilmuwan yang turut mengembangkan proyek Artificial Intelligence tersebut. Ceritanya membuat Max tersadar bahwa apa yang Evelyn lakukan dapat membahayakan manusia. Di lain tempat, Joseph Tagger (Morgan Freeman) yang merupakan teman Will, Evelyn dan Max akhirnya juga menyadari bahwa ada potensi bahaya dalam lab tersebut, sehingga ia memberikan secarik kertas pada Evelyn yang berisi "Run from this place".  Ternyata, selain memberikan pengobatan kepada orang-orang, Will juga membuat tubuhnya sendiri untuk ditempati sehingga nantinya ia tidak lagi hanya hidup di computer. Ketika Evelyn menyadari hal ini, ia mulai merasa ada yang tidak beres. Terlebih ketika Will bahkan mengetahui hal paling pribadi dalam dirinya, yaitu pikiran dan perasaannya.  Will juga meminta supaya Evelyn ‘diunggah’ agar ketika dia mati, diapun dapat abadi seperti Will.

Satu-satunya jalan untuk menghentikan itu semua dimiliki oleh Will, yakni dengan memasukkan virus ke dalam program untuk menghentikan Will. Atas rencana tersebut, Evelyn diajak untuk bekerja sama dengan FBI dan R.I.F.T. Namun sebelum sempat diunggah, Evelyn terkena serpihan senjata dari penyerangan yang dilakukan oleh R.I.F.T. Pada kondisi Evelyn yang sekarat, virus tersebut berhasil diunggah. Dan seiring dengan kematian mereka berdua, mati pula jaringan internet di seluruh dunia.

Di bagian akhir cerita sekaligus awal cerita, Max menjadi narator yang menceritakan bahwa listrik sudah tidak ada lagi. Alat-alat elektronik seakan menjadi sampah yang sudah tidak ada nilainya lagi. Ini termasuk bagian yang tidak gue mengerti kenapa tiba-tiba listrik bisa nggak ada lagi.

Apa yang dilakukan Will sejatinya adalah apa yang dilakukan manusia saat ini. Berlomba-lomba mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang apabila tidak diimbangi dengan keimanan dan ketaqwaan yang tinggi dapat menyebabkan manusia bertindak seolah-olah mereka adalah Tuhan yang bisa melakukan segalanya. Padahal, manusia diciptakan dengan keterbatasan. Meskipun manusia juga diciptakan memiliki akal. Kecenderungan manusia saat ini adalah mengikuti ambisinya tanpa mempedulikan sisi kemanusiaan dari manusia itu sendiri. Mungkin tujuannya memang amat mulia, namun dibalik pengembangan teknologi yang sedemikian pesat dan canggihnya, manusia tidak dapat melepaskan diri terhadap hakikatnya sebagai seorang manusia.

Sebenernya, film ini visioner banget. Tapi setelah gue nonton film ini secara full (yang kerasanya lama banget ini), gue nggak terlalu merasa wow seperti ketika gue nonton trailernya. Ada perasaan 'nanggung' dengan jalan cerita yang disuguhkan dalam film ini. Ekspektasi gue terhadap film ini bisa dibilang terlalu berlebihan, karena pada akhirnya gue merasa di PHP in sama film ini. Huhuhu T.T Teknologi yang bisa bikin Will 'hidup' lagi diceritakan terlalu cepat sampai-sampai gue merasa kayak nonton sulap. Tapi, sisi positifnya adalah melalui film ini, manusia diajak berfikir tentang segala kemungkinan yang akan terjadi kedepannya. Bijak bijak aja deh dalam mengambil pesan dari sebuah tontonan. Mungkin setelah ini, gue harus banyak nonton film fiksi ilmiah kayak gini lagi. Hehe..

1 komentar:

  1. kadang dengan teknologi tinggi kita justru jadi budak teknologi itu sendiri, tanpa sempat memanfaatkan kemampuan2 potensial yang sebenernya diciptakan untuk mempermudah hidup kita, paling gampang ketergantungan ngecek notif socmed aben tangi turu

    BalasHapus

Komentar dari: