8 April 2011

From Jogja With Love II

Akhirnya agendaku selama seminggu sebelum kuliah perdana dimulai. Hari ini hari Senin, Mas Adit dan Mas Bian kuliah, namun mereka menyempatkan diri untuk selalu mengajakku pergi setelah mereka pulang kuliah. Kami pergi ke Cangkringan, lokasi bekas erupsi merapi beberapa bulan lalu, lalu kami mengelilingi Kota Yogyakarta. Mas Bian yang memang asli Jogja, dan sudah tinggal disini sejak lahir menjelaskan banyak hal padaku. Menjelaskan tentang bagaimana Jogja banyak berubah. Akupun merasakan hal yang sama, Jogja banyak berubah. Tapi sekali lagi, aku tetap cinta Jogja.

Suatu hari, saat aku menagih janjiku pada Mas Adit yang kemarin berkata hendak mengajakku pergi ke Taman Sari, Mas Adit malah mengatakan bahwa hari itu ia akan pulang kuliah pada sore hari. Aku kesal, Mas Adit sendiri yang menjanjikanku, dan berkata bahwa hari itu ia tak ada acara. Lalu aku menelpon Mas Bian, ternyata sama saja. Mas Bian juga ada acara lain. Aku yang sudah siap berangkat sedari tadi tiba-tiba merengut, ngambek. Mas Adit yang merasa tidak enak berkata, akan memeblikanku Rujak Es sepulang kuliah nanti. Ah , dasar memang sifatku yang masih seperti anak kecil, aku berhasil dibuat tersenyum hanya dengan Rujak Es.

Bosan, aku berkeliling rumah. Saat itu aku sendiri, Mbah Kakung dan Mbah Putri tak ada dirumah, mereka sedang pergi ke pengajian di daerah Mlati. Aku lalu melirik Beat merahku, nganggur. Belum pernah ku pakai semenjak aku tinggal disini. Awalnya aku ragu, tapi tak lama, ku ambil kunci motor, dan pergi. Sebelum pergi, kutulis pesan di atas meja ruang tamu, pesan untuk Mbah Putri dan Mbah Kakung.

"Ajeng pergi naik motor, nggak jauh-jauh kok cuma jalan-jalan aja"

Awalnya aku hanya berkeliling sekitar rumahku, lalu semakin jauh ke daerah Denggung. Daerah Pemda Kabupaten Sleman itu jalanannya cukup sepi, anginpun semilir berhembus, aku yang menaiki sepeda motor pun agak sedikit mengantuk, dan tiba-tiba..

Brak !

Aku terkejut. Sepertinya aku menabrak sesuatu. Benar saja, sebuah motor tertabrak olehku. Seketika wajahku pucat, aku takut sekali. Ku hentikan sepeda motorku, seseorang yang mengendarai motor itu menoleh kebelakang dan membuka kaca helmnya. Aku sudah siap bila aku harus dicaci maki. Saat aku sedang menunduk, seseorang itu berkata,

"Ajeng !"

Aku langsung menengadahkan wajahku, seorang laki-laki yang sepertinya tidak asing bagiku. "Mika??"

"Ya ampuun kamu lagi. Kamu gimana sih naik motornya?" ujarnya

"Aduh aduh, Mika maaf banget tadi aku ngantuk. Maaf banget ya," ujarku takut. Namun Mika tertawa

"Hahaha udahlah, nggak parah kok. Cuma patah dikit nih, " ujarnya sambil menunjukkan bagian belakang motornya yang sedikit patah. Aku jadi merasa tidak enak.

"Ya ampun Mika, inisih parah. Aku ganti ya"

"Enggak, enggak. Udah Jeng minggir dulu aja deh, nggak enak banget di tengah jalan kaya gini." ajak Mika

Aku langsung meminggirkan motorku. Dalam hatiku sangat lega, seburuk-buruknya menabrak motor, untung saja yang aku tabrak adalah motor Mika, dan Mika tidak marah soal ini. Coba saja yang aku tabrak motor orang lain, pasti sudah habis aku dimarahi. Mika mengajakku duduk di sebuah bangku taman setelah memarkirkan motor.

"Diem aja , Jeng? Yaudahlah nggak usah dipikirin motorku" ujar Mika

"Eh, hehe. Yaa gimana ya Mik, aku nggak enak banget." Jawabku masih sambil menunduk.

"Udah, biasa aja. Anggep aja itu tadi salam perkenalan kita hehe. Tapi aneh juga ya" tawa Mika. Lesung pipinya terbentuk di pipi kanan. Tawanya renyah. Tawanya ramah. "Aku traktir Siomay ya," tawar Mika.

"Ya ampun Mika, nggak usah. Aku udah nyusahin kamu banget hari ini masa masih ditraktir makan segala sih?" ujarku

"Haha, masih kaku aja kamu. Nggak apa-apa. Eh kamu ngapain disini?" tanyanya

"Aku lagi jalan-jalan aja, suntuk dirumah sendirian. Kamu sendiri ngapain disini?" tanyaku balik.

"Oh, aku baru aja pulang kuliah. Rumah kamu emang dimana? "

"Di Sleman, depan pom bensin ituloh , Mik"

Seketika obrolan kami mengalir. Seperti seseorang yang telah lama kenal. Ternyata Mika adalah seorang mahasiswa semester 4 di UGM jurusan Arsitektur. Ya, dia kakak kelasku ternyata. Dia adalah mahasiswa perantauan, seperti aku. Dia berasal dari Surabaya. Pantas saja, logatnya sangat "Surabaya" sekali. Kami bercerita banyak hal. Mika memberitahuku tentang bagaimana ospek di UGM, tentang bagaimana ia berkuliah. Aku lebih sering tertawa saat mendengarkan ia bercerita. Cerita sedih saja dibuat konyol olehnya. Kami sempat bertukar nomor handphone.

Tak terasa, maghrib hampir tiba. Kalau saja Mas Adit tak bolak-balik menelponku, aku pasti masih tetap disini bersama Mika. Akhirnya, kami berpisah di Taman Denggung itu.

Sesampainya dirumah, aku menceritakan apa yang terjadi seharian ini. Mas Adit begitu antusias mendengarkan ceritaku. Dan dia menyimpulakn bahwa Mika adalah orang yang ramah dan baik hati. Aku sependapat dengannya. Namun, saat aku bercerita pada Mas Bian, nampaknya ia kurang setuju jika aku dekat dengan Mika.

Bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dari: