11 Juli 2013

Maafkan aku, Nad.




Aku baru saja memasukkan seluruh buku kuliahku ketika handphoneku berdering panjang. Ada panggilan rupanya. Sebuah nama tercetak besar sekali di layar handphoneku. Nada. Untuk apa pula dia menelponku sore seperti ini. Aku tidak pernah berharap nama itu muncul di handphoneku. Sejenak ingin sekali ku abaikan panggilan masuk itu, tetapi pada deringan terakhir kuputuskan untuk mengangkatnya.

"Halo Assalamualaikum," sebuah suara terdengar di seberang sana.
"Wa'alaikumussalam..", jawabku. Singkat. Ah, rasanya tidak ingin aku bicara berlama-lama dengan seseorang yang sedang menelponku ini.
"Fi, kamu masih di kampus?", tanyanya lagi.
"Iya. Ada apa?"
"Emm, kalau tidak sibuk, bisa kita ketemu sebentar sore ini? Ada yang ingin aku bicarakan."
Aku terdiam sejenak. Sebenarnya setelah ini aku sama sekali tidak punya agenda lain yang mesti aku kerjakan, jadi seharusnya aku bisa saja menerima ajakannya bertemu. Tapi entah kenapa rasanya malas sekali jika harus bicara saja berdua dengan orang ini. Selama ini kami berdua tidak pernah bicara. Selama ini kami berdua hanya menjadi teman yang tidak nampak pertemanannya. 

"Fi ?", ia bertanya sekali lagi. Memastikan bahwa aku masih berada di ujung telepon.
"Iya. Jam berapa? Dimana?", tanyaku balik. Ayolah lekas sampaikan dan aku ingin segera menutup telpon ini.
"Oke, jam setengah empat di taman sebelah timur rektorat. Makasih ya, Fi. Assalamualaikum", tutupnya.
"Wa'alaikumussalam..".

Aku melangkah gontai setelah menutup telepon itu. Masih jam setengah tiga. Masih ada satu jam sebelum pertemuan itu berlangsung. Sebetulnya aku sendiri masih tidak mengerti apa yang akan Nada bicarakan. Hey, selama ini kami tidak pernah bicara. Sepertinya aku harus terlebih dulu mampir ke Masjid kampus, mendinginkan kepala. Ya, siapa yang tau kalau nanti bisa saja aku malah akan mencak-mencak jika bertemu dengannya.

Jam setengah empat aku sudah sampai di taman rektorat. Nada belum sampai. Ah, rupanya dia tipe ngaretan. Aku melihat sekeliling. Sore itu taman rektorat cukup ramai. Ada beberapa yang sedang membentuk lingkaran sambil berdiskusi, ada yang berlatih karate, dan ada pula yang sedang berlatih menari. Ku palingkan wajahku kepada layar handphone, membalas beberapa pesan yang belum sempat terbalas. Sampai sebuah suara muncul.

"Fi.."

Nada rupanya. Perempuan itu tetap anggun. Dengan setelan biru yang berpadu dengan tas bernada sama, perempuan itu duduk di depanku.

Tuhan, kali ini saja. Aku harap aku bisa berfikir jernih.

"Hai, Nad. Ada apa memintaku kesini?", tanyaku. Cepat.

Hening. Hening yang cukup lama. Nada belum menjawab pertanyaanku. Kami terdiam cukup lama dengan pikiran yang ada di dalam kepala kami masing-masing. Aku belum berani berspekulasi tentang apa yang akan kami bicarakan sore ini.

"Fi... Aku minta maaf. Tapi, boleh kan aku minta satu hal ke kamu?", akhirnya dia mengeluarkan suaranya.
Aku seketika bisa membaca kemana arah pembicaraan ini. Ya, tidak lain dan tidak bukan. Pasti Prabu. "Minta apa, Nad?"

"Aku... Aku minta kamu menjauhi Prabu. Maksudku, kamu mengerti kan posisiku?", tanya Nada.

Ini dia. Aku menghela nafas panjang. Ini saatnya. Ini saatnya semua penjelasan itu akan kuutarakan. Semoga waktunya tepat.

"Kamu perlu tau sesuatu, Nad.. Aku dan Prabu hanya berteman. Tidak lebih dari itu.."
"Tapi kalian tidak terlihat seperti teman, Fi. Aku mohon, mengerti perasaanku. Aku masih menemukan kalimat-kalimat yang menunjukkan bahwa pertemanan kalian bukan pertemanan biasa. Aku ini pencemburu, Fi. Aku tahu kalau Prabu menyimpan rasa buatmu..", nafas Nada tersengal menyelesaikan kalimatnya. Selanjutnya ia terdiam, menunduk dan menutup wajahnya dengan tangan. Ia menangis. Menangis di depanku.

Entah apa yang harus aku katakan pada Nada. Aku bahkan tau persis sampai sekarang Prabu masih menyimpan rasa untukku. Sampai tadi pagi sebenarnya Prabu masih mengucapkan kalimat yang sama seperti dua tahun yang lalu saat kita pertama kali bertemu. "Selamat pagi, Fi. Tetap tersenyum dan bersyukur. Semoga harimu menyenangkan". Entah apakah Nada tahu hal ini atau tidak.

Hening kembali. Prabu memang keras kepala. Dulu sudah aku katakan berulang kali kepadanya bahwa aku tidak bisa mencintainya karena, ya, karena aku sudah punya lelaki. Walaupun memang tidak bisa kupungkiri, aku tertarik padanya. Prabu bersikeras tetap menyimpan perasaan itu. Aku pernah memintanya pergi dan berkata bahwa ia bisa menemukan seseorang yang lebih baik diluar sana. Aku pernah berkata bahwa akan lebih bahagia jika bersama orang lain.

Sore itu, sore yang sama seperti saat ini. Prabu akhirnya berkata padaku bahwa ia telah menemukan seseorang yang akan dia pilih untuk menggantikan aku. Dia bercerita, namanya Nada. Prabu meminta izin padaku agar aku merelakannya. Tapi di ujung percakapan sore yang sudah dahulu itu, Prabu berkata.

"Aku mohon izin, Fi. Mungkin sekarang hatiku akan memilih Nada. Tapi izinkan aku untuk tetap menyimpan perasaan ini padamu. Aku pamit ya, aku sayang kamu.", kemudian Prabu beranjak meninggalkan aku sendirian.

Malamnya aku seperti dihantam palu besar di dadaku. Sesak. Awalnya aku tidak mengerti mengapa aku sampai harus seperti ini. Aku sudah punya lelaki, tapi mengapa sepeninggal Prabu, hatiku seperti tidak pada tempatnya? Lama kelamaan aku mulai menyadari bahwa perasaan itu bukan hanya sekedar ketertarikan semata. Aku... Aku juga menyayangi Prabu. Dan bahkan, aku ingin lebih dari sekedar teman dengannya. Ah, bodoh sekali aku.

Aku mencoba menepis semua perasaan yang tidak semestinya itu. Ada banyak hati yang harus aku hormati. Hati lelakiku, hati Prabu, hati Nada dan hatiku sendiri. Jika saja Prabu datang ketika aku masih sendiri. Semenjak saat itu aku belajar untuk mengikhlaskan Prabu, semisal memang dia tidak akan kembali.

Tapi saat aku hampir bisa melupakannya, Prabu dengan entengnya kembali memasuki hari-hariku. Datang dalam bentuk ucapan-ucapan setiap pagi, setiap malam. Ku pikir, apa maksudnya? Tidak tahukah dia bahwa aku setengah mati belajar melupakannya? Awalnya, aku tidak menghiraukan keberadaannya. Tapi lama kelamaan aku berlubang juga dengan kebaikan yang ia berikan. Tuhan, maafkan aku. Nada, maafkan aku.

Sampai suatu hari, ketika aku dan Prabu berpapasan di parkiran kampus. Kali itu kami hanya berdua.

"Fi..", sapanya.
"Hai, Prab. Sendirian? Nada mana?"
"Nggak masuk, Fi. Sakit.."
"Oh..."
"Eh, makan siang yuk.."
"Eh? Ini... Beneran? Enggak ah, aku nggak enak.."
"Nggak apa-apa kali. Nggak enak sama siapa coba?"

Aku ingin mengeja nama itu, Nada. Ya, seharusnya siang itu aku tidak pernah menerima ajakan Prabu untuk keluar makan siang. Karena setelah itu, hubunganku dengan Nada malah memburuk. Nada tau semua yang aku lakukan bersama Prabu selama dia tidak masuk kuliah karena sakit. Tentu saja bukan dari aku, ataupun Prabu, kami sepakat tutup mulut soal ini. Semua fakta itu ia dapatkan dari teman-temannya. Tentu saja Nada mencak-mencak. Tapi dia terlalu anggun untuk marah-marah langsung padaku. Tapi aku yakin, Prabu kena getahnya. Entah pembelaan seperti apa yang akan disampaikan Prabu. Aku tidak tahu.

Merasa bersalah? Ya, sungguh aku merasa bersalah. Tapi terkadang cinta memang buta. Kalau aku jadi Nada, aku pun tidak tahu harus berbuat apa. Melepas, sudah terlanjur sayang. Bertahan, terlalu menyakitkan. Tapi Nada memilih bertahan dengan semua keadaan ini. Prabu selalu cerita padaku perihal apa yang ia dan Nada lakukan. Tapi, belakangan, aku sering sekali dicurhati soal Nada yang terlalu manja dan posesif.

Berita terakhir yang aku dapatkan dari teman-teman, Nada dan Prabu bertengkar hebat di kampus. Prabu membuat keputusan tegas, bahwa ia memilih meninggalkan Nada. Tapi Nada tetap bersikeras bertahan. Sejujurnya aku melihat semua kejadian itu dengan mata kepalaku sendiri. Tuhan, aku tidak tega melihat Nada menangis seperti itu. Hatiku ikut teriris. Aku mengutuk diriku sendiri yang dulu mengizinkan Prabu pergi, tapi sekarang malah kembali padaku dengan menyakiti hati orang lain.

Aku harus bicara, pada Prabu..

"Prab, kayaknya kita udah terlalu 'jauh'.. Aku nggak mau lihat Nada sedih.."
"Bisa nggak kita nggak usah bicara soal Nada? Aku bosan, Fi."
"Kamu harus ngerti kalo Nada sayang banget sama kamu, Prab.."
"Dan kamu juga harus ngerti kalo aku sayang sama kamu, Fi.."

Alot. Prabu memang keras kepala.

"Aku mohon, Prab. Kembali pada Nada, demi aku..", akhirnya aku mengeluarkan kalimat itu. "Aku juga tersiksa kalau terus-terusan begini." Aku terisak.
"Fi, kita perjuangkan perasaan kita. Aku tau kita punya perasaan yang sama. Akan kusudahi semuanya bersama Nada, dan kita memulai semuanya dari awal.."

Kalau aku jadi Nada, mungkin saat ini sudah ku lempar kepala Prabu dengan palu. Tapi cinta memang aneh. Cinta memang tidak logis jalannya. Aku sudah kehabisan kata-kata. Aku tidak ingin melepas Prabu lagi untuk kedua kalinya. Tuhan, maafkan aku. Maafkan aku membuat perempuan baik hati seperti Nada harus melewati masa-masa sulit seperti ini.

"Fi...  Aku mohon, mengerti perasaanku...", Nada masih terisak di depanku.

Tuhan, beri aku kekuatan untuk menjelaskan pada Nada. Dan berikan Nada kekuatan untuk menerima ini semua.

"Aku minta maaf, Nad. Tapi mungkin kali ini tidak akan aku tutupi lagi. Prabu.... Dia lelakiku.."

Nada membuka wajahnya yang tertutup tangannya sendiri. Menatapku sejenak, kemudian berdiri. Pergi.

Sambil lirih aku berkata, "Maafkan aku, Nad.."

*Cerita ini hanya fiktif belaka. Apabila terdapat kesamaan nama, tempat maupun jalan cerita, itu semua unsur ketidaksengajaan :)

6 komentar:

  1. Wanjir elu udah 'jadi' lagi nek? ckck. Terjebak di Complicated Love lagi... wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. kagak bero. ini bukan curhat yak, ini fiksi :p

      Hapus
  2. kalo aku jadi nada, aku kirim bingkisan bom atom ke prabu. :D

    BalasHapus

Komentar dari: