17 Maret 2012

Takkan Lagi Sama

Seperti kertas putih yang sudah tercoret-coret menggunakan tinta hitam, meskipun coretannya dihapus, kertasnya tak akan kembali putih seperti semula. Coretan itu pasti akan meninggalkan bekas-bekas yang membuat kertas tersebut tak lagi mulus.

Mungkin dulu, kita adalah kertas putih itu. Kertas yang dipersiapkan untuk diisi dengan kalimat-kalimat ataupun gambar-gambar indah tentang kehidupan ini. Atau mungkin diisi dengan cerita-cerita tentang hal-hal yang membuat kita tertawa. Aku sudah benar-benar siap menuliskannya bersamamu. Kita tinggal menunggu tinta mana yang akan datang lebih dahulu untuk menjadi alat bantu dalam menuliskan cerita kita.

Ketika menunggu itulah, kita menemukan tinta yang salah. Awalnya semuanya berjalan dengan baik, tulisan kita dipenuhi cerita-cerita bahagia, namun lama-kelamaan yang tertulis di kertas itu menjadi tak sesuai dengan apa yang aku pikirkan. Tapi entah mengapa hanya aku yang menyadari kesalahan itu, sedangkan sepertinya kamu terlihat asyik saja terus menulis ceritamu sendiri. 

Aku memperingatkanmu bahwa kamu sudah menulis terlalu jauh, tapi kamu tetap saja menulis dan merasa semuanya sudah berjalan sebagaimana mestinya. Aku memintamu mengulang tulisan lain di kertas baru, kamu merasa tak ada yang perlu diulang karena tulisanmu sudah cukup bagus. Aku nyaris menyerah.

Aku akhirnya menyadari bahwa memang sebelumnya tidak ada kesepakatan apapun diantara kita, tentang cerita yang seperti apakah yang akan kita tulis. Ternyata kita memiliki versi masing-masing tentang apa yang akan kita tuliskan di dalam kertas kita itu. Akhirnya ya inilah yang terjadi, ketidaksinkronan. Ketidaksesuaian cerita.

Setelah beberapa menulis, kamupun akhirnya berhenti. Lalu menengokku, karena aku tak berhentinya mengoceh. Lalu kamu menanyakan apa mauku, ku bilang "kertas baru". Kamu tetap bilang kertas lamamu lebih menarik daripada harus menulis lagi di kertas baru. Kamu membuat semuanya menjadi rumit untuk dijabarkan. Aku tetap memaksamu untuk menghapusnya, dan akhirnya kamu meng-iya-kan kata-kataku. Kamu mengambil sebuah tipe-ex, dan menimpanya diatas tinta-tinta hitam bekas tulisanmu. Sedikit aku merasa lega, dan ku pikir, kita bisa menuliskannya dari awal lagi, bersama-sama....

Namun ternyata semuanya tak lagi sama. Mungkin kamu menuliskan cerita itu bersamaku, tapi kamu hanya melihat dari jauh apa yang kutulis, dan hanya memberi sedikit komentar tentang tulisanku. Terlebih lagi, ternyata aku harus menuliskan ceritanya diatas bekas tulisanmu yang kamu timbun dengan tipe-ex, tulisannya semakin berantakan dan tidak jelas. Semuanya kembali, tapi semuanya menajdi tidak sama. Dan saat ini, ceritanya harus berhenti karena mungkin kamu merasa terlalu aku dikte, kamu merasa tidak punya kebebasan dan kenyamanan ketika menuliskan cerita itu.

Maafkan aku.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dari: