27 April 2014

Transcendence: IPTEK Tanpa IMTAQ

Poster Film TRANSCENDENCE
Waktu gue diajak nonton film 'I,Frankenstein' beberapa bulan yang lalu, ada trailer film yang keren bingits. Di trailer itu, ditampilkan cuplikan film yang berbau fiksi ilmiah gitu. Ada manusia yang bisa dimasukin ke komputer. Ada kekuatan yang bisa bikin barang rusak bisa jadi bener lagi. Berhubung gue kuliah di TI, jadi gue pengen nonton film itu. Emm, alasannya nggak banget ya --" Enggak sih, nggak cuma itu alasannya. Gue pengen nonton karena gue merasa dijanjikan dengan sebuah film yang luar biasa dahsyat dari segi jalan cerita maupun dari segi teknologi yang digunakan. Akhirnya, gue menunggu film itu tayang.

TRANSCENDENCE.

Gue bukan termasuk penikmat film yang nonton film karena 'siapa' nya. Entah itu siapa aktornya, siapa aktrisnya, siapa sutradaranya, siapa penulis skenarionya atau siapapun yang ada di film itu. Ketika gue merasa pengen nonton ya nonton aja. 

Film ini diawali dengan sebuah presentasi yang dilakukan oleh Will Caster (Johny Deep) serta istrinya Evelyn (Rebecca Hall). Keduanya merupakan ilmuwan yang sedang melakukan riset dan pengembangan teknologi Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan yang disebutkan dapat melebihi kecerdasan para pakar dan ahli apabila digabungkan. Artificial Intelligence diharapkan menjadi sebuah solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi dunia saat ini. Kecerdasan buatan tersebut dapat menyembuhkan kanker, menciptakan udara yang bebas polusi serta dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Seorang peserta dalam presentasi tersebut kemudian bertanya, "Jadi, apakah Anda ingin menciptakan Tuhanmu sendiri?".

Dari pertanyaan tersebut, gue kemudian langsung bisa menebak jalan ceritanya akan seperti apa. Ini pasti tentang teknologi yang dikembangkan sedemikian rupa sehingga bisa amat sangat mempermudah manusia dalam hidupnya. Namun disisi lain, gue merasa akan ada yang salah dari pengembangan teknologi tersebut. Tapi karena gue takut sotoy, jadi gue nonton aja lanjutannya.

Selesai melakukan presentasi, Will ditembak oleh seseorang tak dikenal yang ternyata merupakan anggota dari R.I.F.T atau Revolutionary Independence From Technology. Beruntung Will tidak mati ditempat. Akan tetapi setelah menjalani pemeriksaan, Will dihadapkan pada kenyataan bahwa hidupnya hanya bersisa 4 sampai 5 minggu lagi dikarenakan peluru yang digunakan untuk menembaknya telah dilapisi oleh polonium, sebuah racun yang radiasinya dapat mematikan. Mengetahui hal tersebut, Evelyn sangat sedih. Kemudian, ia teringat pada sebuah robot hasil ciptaan Will yang disebut P.I.N.N (Physical Independent Neural Network). P.I.N.N telah memiliki kecerdasan buatan yang sedang dikembangkan tersebut, sehingga ia dapat mendeteksi keberadaan seseorang. Namun, P.I.N.N masih dalam tahap pengembangan. Demi menyelamatkan Will, Evelyn dibantu Max Waters (Paul Bettany) mengambil beberapa core atau inti dari P.I.N.N kemudian secara bertahap mengunggah kesadaran dan memory Will selama sisa hidup yang dimiliki oleh Will.

Ketika Will betul-betul meninggal, kesadaran dan memorynya telah terpindah ke superkomputer. Kemudian Evelyn mencoba untuk berkomunikasi dengan Will, namun tidak berhasil. Setelah diduga gagal, komputer tersebut memberikan sinyal dengan mengeluarkan sebuah kalimat yang berbunyi, "Apakah ada orang disana?". Mengetahui hal tersebut, Evelyn senang bukan main. Tapi sebaliknya, Max meminta Evelyn untuk segera mematikan komputer tersebut karena ia tidak yakin bahwa itu adalah Will. Sayangnya, Evelyn malah mengusir Max keluar dari ruangan itu. Yah,siapa juga yang nggak seneng kalau orang yang dicintai bisa 'hidup' lagi? Setelah beberapa kali berdialog, Will meminta Evelyn untuk menghubungkan ia dengan jaringan internet agar dapat mengakses jaringan internet di seluruh dunia. Cara tersebut dilakukan untuk menjadikan Will abadi.

Max ditangkap R.I.F.T yang berusaha mencegah agar proyek Will tersebut tidak dilanjutkan lagi. Sementara Max ditangkap, Evelyn dibantuk Will sudah berhasil membuat laboraturium bawah tanah serta pembangkit listrik tenaga surya di sebuah kota terpencil bernama Brightwood dalam skala yang sangat besar. Karena sudah tersambung dengan internet, Will dapat mengakses apapun. Bahkan ia dapat memasukkan uang dengan jumlah yang sangat banyak ke rekening Evelyn. Seharusnya, ini sudah jadi tindakan kriminalitas.

Di dalam laboraturium yang sangat canggih itu, Artificial Intelligence yang menjadi ambisi Will dan Evelyn kembali dikembangkan. Will telah berhasil menguji coba teknologi nano kepada tumbuhan yang mati, lalu kepada salah satu pekerja di laboraturium tersebut yang babak belur dihajar preman menjadi sembuh seperti sedia kala hanya dalam waktu yang sangat singkat. Namun, karena ia dapat disembuhkan dengan teknologi nano tersebut, Will dapat masuk ke tubuh orang tersebut selama ia tersambung dengan internet. Mengetahui hal tersebut, banyak orang sakit yang kemudian berobat ke laboraturium Will. Orang yang disembuhkan dengan teknologi nano akan memiliki kekuatan berlipat ganda dibandingkan dengan manusia biasa. Selain dapat menyembuhkan penyakit, Will juga dapat memperbaiki peralatan yang rusak, bahkan dapat menciptakan hujan. Semua itu dikendalikan oleh Will yang ‘hidup’ dalam sebuah komputer.

Pimpinan R.I.F.T menjelaskan alasan ketidaksetujuannya terhadap proyek tersebut padahal dulunya ia adalah salah satu anak buah dari salah satu ilmuwan yang turut mengembangkan proyek Artificial Intelligence tersebut. Ceritanya membuat Max tersadar bahwa apa yang Evelyn lakukan dapat membahayakan manusia. Di lain tempat, Joseph Tagger (Morgan Freeman) yang merupakan teman Will, Evelyn dan Max akhirnya juga menyadari bahwa ada potensi bahaya dalam lab tersebut, sehingga ia memberikan secarik kertas pada Evelyn yang berisi "Run from this place".  Ternyata, selain memberikan pengobatan kepada orang-orang, Will juga membuat tubuhnya sendiri untuk ditempati sehingga nantinya ia tidak lagi hanya hidup di computer. Ketika Evelyn menyadari hal ini, ia mulai merasa ada yang tidak beres. Terlebih ketika Will bahkan mengetahui hal paling pribadi dalam dirinya, yaitu pikiran dan perasaannya.  Will juga meminta supaya Evelyn ‘diunggah’ agar ketika dia mati, diapun dapat abadi seperti Will.

Satu-satunya jalan untuk menghentikan itu semua dimiliki oleh Will, yakni dengan memasukkan virus ke dalam program untuk menghentikan Will. Atas rencana tersebut, Evelyn diajak untuk bekerja sama dengan FBI dan R.I.F.T. Namun sebelum sempat diunggah, Evelyn terkena serpihan senjata dari penyerangan yang dilakukan oleh R.I.F.T. Pada kondisi Evelyn yang sekarat, virus tersebut berhasil diunggah. Dan seiring dengan kematian mereka berdua, mati pula jaringan internet di seluruh dunia.

Di bagian akhir cerita sekaligus awal cerita, Max menjadi narator yang menceritakan bahwa listrik sudah tidak ada lagi. Alat-alat elektronik seakan menjadi sampah yang sudah tidak ada nilainya lagi. Ini termasuk bagian yang tidak gue mengerti kenapa tiba-tiba listrik bisa nggak ada lagi.

Apa yang dilakukan Will sejatinya adalah apa yang dilakukan manusia saat ini. Berlomba-lomba mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang apabila tidak diimbangi dengan keimanan dan ketaqwaan yang tinggi dapat menyebabkan manusia bertindak seolah-olah mereka adalah Tuhan yang bisa melakukan segalanya. Padahal, manusia diciptakan dengan keterbatasan. Meskipun manusia juga diciptakan memiliki akal. Kecenderungan manusia saat ini adalah mengikuti ambisinya tanpa mempedulikan sisi kemanusiaan dari manusia itu sendiri. Mungkin tujuannya memang amat mulia, namun dibalik pengembangan teknologi yang sedemikian pesat dan canggihnya, manusia tidak dapat melepaskan diri terhadap hakikatnya sebagai seorang manusia.

Sebenernya, film ini visioner banget. Tapi setelah gue nonton film ini secara full (yang kerasanya lama banget ini), gue nggak terlalu merasa wow seperti ketika gue nonton trailernya. Ada perasaan 'nanggung' dengan jalan cerita yang disuguhkan dalam film ini. Ekspektasi gue terhadap film ini bisa dibilang terlalu berlebihan, karena pada akhirnya gue merasa di PHP in sama film ini. Huhuhu T.T Teknologi yang bisa bikin Will 'hidup' lagi diceritakan terlalu cepat sampai-sampai gue merasa kayak nonton sulap. Tapi, sisi positifnya adalah melalui film ini, manusia diajak berfikir tentang segala kemungkinan yang akan terjadi kedepannya. Bijak bijak aja deh dalam mengambil pesan dari sebuah tontonan. Mungkin setelah ini, gue harus banyak nonton film fiksi ilmiah kayak gini lagi. Hehe..

24 April 2014

Kado.

Seiring bertambahnya nominal angka pada usia seseorang, sejatinya seseorang itu sedang merayakan sebuah kehilangan. Ya, kehilangan jatah sisa tinggal di dunia ini. Momen ini biasanya disebut dengan ulang tahun. Perayaan perulangan tanggal dan bulan yang sama, namun dengan tahun yang berbeda. Sebuah prosesi yang lebih sering dilakukan dengan tiup lilin dan potong kue serta bertaburan kado dan ucapan. Intinya, bisa jadi ada banyak hal yang seseorang terima di hari bahagianya itu.

Lima hari yang lalu gue menjadi seseorang yang mengulang tanggal 20 April ke dua puluh satu (tulisannya sengaja nggak dibikin angka biar nggak ketara tua banget, hehe). Ada beberapa hal yang berkesan, bahkan kesannya nggak cuma pas tanggal 20 aja. Sebelum dan sesudahnya juga berkesan banget buat gue. Ulang tahun gue kali ini, sengaja gue nggak punya banyak wish. Tetep ada sih, tapi nggak banyak. Nggak kayak taun kemaren dimana gue punya "Twenty things that I should have do on twenty" yang sampai di hari terakhir usia dua puluh tahun pun nggak bisa gue lakukan semuanya. Salah satunya adalah, jadi asdos :|

Tapi kali ini gue bukan mau bicarain soal wish gue yang nggak terkabul dari list yang udah gue bikin. Gue tetep bersyukur kok walaupun banyak list yang nggak kecoret, karena gue menyadari bahwa apa yang Tuhan berikan buat gue nggak hanya sekedar apa yang ada di list gue. Melainkan buanyak, buanyak buangeeeeet :')

Tanggal dua puluh kemarin adalah hari minggu, hari dimana gue nggak punya aktivitas kuliah. Malamnya, selepas jam 00.00, Fiani adalah orang yang pertama ngucapin selamat ulang tahun via sms. Gue jadi inget dua tahun yang lalu, ketika Fiani menggunakan metode missed call sebanyak umur gue untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Sebenernya ada yang lebih dulu, tapi sayangnya gue terlalu ngantuk untuk mengangkat telfonnya di jam 00.09, jadinya gue baru ngangkat telfon ketika dia telfon lagi jam 00.47 :3 Paginya, gue main sama adik sepupu gue. Jarang banget gue bisa main sama dia kayak gitu, soalnya gue jarang ada di rumah simbah pas dia lagi main ke rumah simbah. Agak siang dikit, gue diajak makan siang di tempat makan sama tante gue. Disana, gue dapet telfon dari ibu yang ternyata juga lagi jalan-jalan sama bapak dan adek-adek (bikin sirik aja :'' ) dan tanpa dikomando mereka yang ditelfon dan keluarga gue yang lagi satu posisi sama gue waktu itu nyanyiin lagu selamat ulang tahun. Tanpa kue, tanpa lilin. Tapi gue yakin cinta mereka semua buat gue jauh lebih manis daripada kue tart, dan jauh lebih terang daripada sebuah cahaya lilin.

1:27 | Ibuk

Selepas Dzuhur, gue menuju bagian barat Yogyakarta karena ada sesuatu hal yang harus dikerjakan. Sampai sana ya biasa aja, nggak terus dikasih surprise kue ulang tahun pakai lilin atau tiba-tiba ada bungkusan kado segede alaihum gambreng yang dikasih pita warna pink. Gue juga nggak berharap itu. Gue cuma berharap sama seseorang yang mengundang gue kesana. Supaya, supayaaa.... Emm, rahasia :))) Gue tau dia sedang terburu-buru. Gue tau dia banyak yang nyariin karena sebenernya hari itu juga bertepatan dengan hari ulang tahun 'tempat-dia-nyari-ilmu'. Makanya itu, gue nggak mau ngabisin waktu. Begitu gue tau apa yang harus gue lakukan, gue langsung kerjain. Yaa, meskipun di awal sempet grogi dan sering salah, tapi Alhamdulillah kerjaannya bisa (nyaris) selesai.

Berhubung baru nyaris selesai dan sudah ada aktivitas lain yang harus dikerjakan di kampus, akhirnya gue diajak ke kampus dan menyelesaikan semuanya disana. Gue sih duduk anteng di depan laptop sambil sesekali ngobrol sama adek tingkat yang baru break evaluasi acara semnas himpunan. Tapi dia, gue hitung ada kali 10 kali naik turun tangga di gedung tempat acaranya berlangsung cuma buat memastikan bahwa semuanya lancar. Semoga itu bisa mengurangi volume perut yang kayaknya udah mulai endut itu yak :D

Jam 21.00 gue pulang ke rumah dengan niat langsung ngerjain tugas kuliah buat hari seninnya. Tapi begitu sampai rumah, gue mendapati bahwa kuliah besok kosong. Akhirnya gue ngerjainnya belum selesai semuanya dan udah gue tinggal tidur karena gue ngantuk. Pas gue bangun, udah hari Kartini. Jadi, ya tanggal dua puluh gue adalah seperti itu. Gue berusaha untuk tidak terlalu menganggap spesial hari itu, dan berusaha menjalani hari itu seperti hari-hari yang lain. Perbedaannya terletak pada usia gue yang udah nggak dua puluh lagi :)

Kemarin, waktu Farid ngajak ke Toga Mas dan pas lagi ada di deretan sketchbook, dia nanya gini, 
"Kamu udah nggak pernah nulis sama nggambar lagi ya?"
"Aku lagi nggak pengen. Nanti kalau aku pengen, aku pasti nulis sama nggambar lagi.."

Terus, gue nyadar. Keinginan gue nulis atau nggambar itu bisa muncul karena banyak hal, dan salah satu hal yang gue sadarin adalah gue nggak nulis dan nggak nggambar belakangan ini karena nggak ada yang nyuruh gue nulis sama nggambar lagi. Ehm, ringkasnya gini. Gue nggak pengen nulis sama nggambar karena nggak ada yang 'nyuruh' gue ngelakuin itu. Mungkin gue lagi ada dalam fase jadi seorang penulis yang nggak punya pembaca, atau seniman yang nggak punya penggemar yang menikmati hasil karyanya. Dan ketika Farid nanyain hal itu, gue kayak yang, "Ada yang nungguin tulisan gue ternyata.. Ada yang pengen lihat gue nggambar lagi ternyata". Saat itulah, keinginan gue muncul. Sebenernya, gue bukan kehabisan ide buat nulis atau nggambar, tapi gue kehilangan semangat untuk merealisasikan itu semua. Jadi, malam ini gue mulai menulis lagi. Besok gue akan coba menggambar lagi :)

Hari ini, lima hari setelah hari ulang tahun gue, gue baru merasa "Apakah ini benar-benar kado?"

Farid pernah ngasih gue Daily Journal hasil promo temen sekelas gitu buat gue. Dia pernah bilang bakal ngisi buku itu pakai tulisannya. Setelah sebulan lebih, hal itu baru terealisasi tadi siang. Ditengah dia ngerjain tugas statistika, dia mencoret-coret halaman pertama buku gue. Gue berusaha menerka apa yang akan dia tulis. Sesekali gue tengok dia nulis, terus pas gue lihat kok ternyata dia nulisnya banyak yak :| Sampai dia mengakhiri tulisannya ketika dia sudah berhasil menulis satu halaman penuh. Itu adalah tulisan terpanjang yang pernah Farid tulis untuk gue.

Dan begitu gue baca..

Nggak akan gue ceritakan disini. Yang jelas, gue nggak pernah menyangka gue membaca tulisan seperti itu. Seandainya itu bukan di kelas, mungkin gue nggak bakalan maksa diri gue buat nahan supaya air mata gue nggak keluar. Gue terkejut, terharu dan ah gue merasa bahwa pengalaman gue menulis selama ini nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan cara pikir sama cara nulisnya. Gue nggak bisa berkata-kata selain berterima kasih dan berharap semoga Tuhan memberikan semua kesempatan itu :) Selebihnya, gue akan simpan itu di dalam bukunya.

Selepas rapat PPL sore ini, Rahma mendekati gue dan memberikan sebuah bingkisan berbalut kertas kado berwarna biru muda dengan origami burung di atasnya. Sebenernya gue udah tau apa isinya, karena beberapa hari sebelum gue ulang tahun, Akhi tanya ke gue, gue minta hadiah apa untuk ulang tahun. Gue minta ini...

ini apa hayo?

Gue nggak tau kenapa harus itu. Gue hanya merasa yakin bahwa itu akan menjadi sesuatu yang melekat pada diri gue. Entahlah, gue cuma pengen itu. Barangkali, itu juga bisa gue bawa ke suatu tempat dimana gue mempersiapkan diri untuk menghabiskan sisa hidup gue bersama seseorang nanti :)

Pengulangan tahun ke dua puluh satu kali ini juga membuka pemikiran gue bahwa ada banyak hal yang harus gue persiapkan untuk kehidupan gue mendatang. Akhir-akhir ini lagi sering banget denger soal parenting, soal nikah, soal anak kecil. Hehe. Enggak, gue nggak nikah besok pagi kok. Gue dan dia masih dalam langkah awal mempersiapkan banyak hal. Gue cuma berharap semoga Allah selalu meridhoi setiap langkah gue. Semoga gue juga semakin bijak dan dewasa dalam bersikap dan berucap. Bisa membahagiakan orang-orang yang gue sayang, dan menyayangi gue. Termasuk membahagiakan diri gue sendiri.

Sekali lagi, selamat mengulang tanggal dua puluh april yangke dua puluh satu :)


Dihadapi. Jangan lari.

[Tulisan telat seminggu]

Seharian kemarin adalah hari yang super keren buat gue. Sebenernya, keren disana bukan keren dalam artian yang sebenarnya. Kayak tiba-tiba gue ditawarin buat rekaman satu album gitu sama produser musik, atau tiba-tiba proyek PM semester ini tiba-tiba selesai, atau gue ditawarin wisuda dan IPK gue cumlaude (ini sih aamiin-able banget). Nggak, kalau kejadian diatas bener semua sih itu namanya bukan keren, tapi keren biyangeeeetz :3

Lah, terus lu heboh bener Peh kalau kemarin itu hari yang keren buat lo. Ada apaan emang?

Kekerenan kemarin adalah ketika dalam satu hari, gue harus menghadapi 1 presentasi dan 3 UTS tanpa jeda. Gue baru menyadari bahwa ada ancaman 3 UTS satu hari sebelum UTSnya berlangsung (ketauan dah kagak pernah belajar). Sementara itu, malem sebelum UTS gue bikin slide buat presentasi di mata kuliah pertama. Gue ngerjain presentasi dari jam 20.00 sampai jam 22.00 karena emang dikasih deadline sama anak-anak jam segitu. Berhubung gue mengusahakan anak-anak dapet file presentasinya pun ontime, hasil slidenya sebelum jam 22.00 udah gue share di facebook. Disitu gue minta komentar dari temen-temen. Yakali ada yang perlu dibenerin, ditambahin atau malah dikurangin atau malah saking jeleknya jadi dihapus aja.

Ternyata, dari 4 anggota kelompok yang lain, yang komentar cuma satu. Sisanya hilang T.T

"Berarti ok nih presentasinya", hati gue berkata.

Selepas ngerjain presentasi, gue mencoba untuk membuka materi Manajemen Industri yang UTSnya jam 11.00. Tapi sebelumnya silaturhami dulu ke Twitter. Ternyata ya pemirsa, gue menemukan gosip bahwa UTS Man-Is besok adalah open book. Wuhuuw, lumayaaan.. Udah aja habis itu gue mindahin materi dari ppt ke word buat diprint sebelum UTS. Apakah habis itu gue belajar Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sistem Pendukung Keputusan? Tidak saudara-saudara. Ternyata mempersiapkan buat ujian openbook itu juga lama, alias kayak baca semua materinya gitu. Jam 01.00, setelah gagal berkomunikasi dengan seseorang di seberang sana, gue tidur. Sebelum tidur, cuma minta sama Tuhan supaya gue nggak bangun kesiangan.

Gue bangun jam 5.17 kemudian melakukan ritual sampai jam 6.15. Gile ye, tumbenan banget jam segitu udah standby. Iya, soalnya acara gue pagi itu adalah nebeng mas gue yang juga mau kuliah jam 7.00. Preketek banget kalau sampai gue kesiangan dan bikin mas gue telat. Pagi itu gue ngaca kemudian membatin "Aaaaak, mata guee" sambil menangis dalam hati. Kantung mata semakin menghitam, pemirsaaaaa T.T

Skip.

Presentasi Sosioantropologi Pendidikan. Gue sih awalnya jadi moderator. Boleh curhat nggak? Gue sebenernya belum ngeh banget sama materi yang bakal gue sampaikan. Ini nih, tugas dari jaman kapan baru dikerjain kapan. Wuuu~ Awalnya gue sama temen sekelompok ketara banget kalau nggak menguasai materi alias njelasinnya ngambang banget dan gue yakin itu temen-temen sekelas pun bingung apa yang mesti mereka tangkap. Waktu itu, gue merasa badan gue mulai panas dan muncul keringat dingin. Gue cuma bisa berdoa semoga ini bukan tanda-tanda mau sakit.

Ada insiden yang #duhBuk banget waktu akhir presentasi. Itu adalah momen dimana ibu-dosen-sosio-nya-ngira-gue-udah-punya-anak gara-gara lihat wallpaper desktop gue sama Novi dan Radit.

"Tadi, seperti yang mbak Hanifah sampaikan tentang pola pikir orang tua. Sepertinya mbak Hanifah sudah berpengalaman menjadi orang tua. Itu tadi foto yang di laptop itu foto ..."
"Itu foto adik saya bu..."
"Oh, maaf mbak. Saya kira.. Maaf ya mbak"

Seketika kelas bergemuruh gara-gara pada ketawa. Gue cuma bisa tutup muka pake kertas dan mikir, "Ini maksudnya gue terlihat sudah cocok punya anak apa karena gue muka tua ya?" Aaaaak. Mungkin itu momen yang tidak akan terlupakan buat gue. Buk, makasih ya buk :")

Selesai kuliah Sosioantropologi Pendidikan, gue menuju rental buat ngeprint materi Man-Is. Gue ngerasa lemes banget dan perut gue sakit. Oke, fiks. Ada tamu yang dateng.

Jam 9.30 gue udah di ruangan ujian Man-Is. Niatnya mau belajar tapi nggak bisa konsen gara-gara AC nya terlalu dingin dan perut gue sakitnya keterlaluan banget. Skip. Jam 11.00 Pak Ponco masuk kelas dan setelah sepik beberapa pengantar gitu, mulai membagikan lembar soal UTS. Sumpaaah, rasanya tuh open book agak sedikit percuma gitu. Banyak soal yang bener-bener nggak kepikiran bakal dikeluarin sama bapak dosennya. Cuma soal nomor tiga, tentang hitung-hitungan BEP yang gue yakin bener :|

Selesai UTS Man-Is, gue pindah ruang dan pindah gedung buat UTS Metodologi Penelitian Pendidikan. Dengan beberapa belas menit waktu yang tersisa, gue mulai belajar memahami semua materi yang ada. Fix, jangan pernah tiru kebiasaan gue belajar yang SKS (Sistem Kebut Sesaat-sebelum-ujian) ini. Otak tuh terkadang butuh banyak waktu untuk menghafal, apalagi otak gue. Jadi, kalau bisa yaa, jadilah mahasiswa yang rajin mengulang mata kuliah (eh kok ini ambigu ya --"), emm maksudnya belajar lagi setelah dosennya menyampaikan di kelas. Tapi terkadang, kahanan membuat kita memprioritaskan hal lain disamping mengulang pelajaran. Bukan, ini bukan soal yang yangan :3

Walaupun UTS nya sebagian besar nggak bisa gue kerjain, gue berprinsip untuk nggak nyontek. Mau ngawur, sengawur apapun, gue akan berusaha untuk tetep ngejawab semuanya sendiri. Jadi, dari 8 soal UTS MPP, gue hanya yakin menjawab 3-4 soal dengan benar. Haha. Yaaa, masalah nggak masalah sih sebenernya. Nggak masalah karena kadang gue berfikir bahwa gue bisa belajar lagi habis ini, jadi pas UAS nanti gue bisa menjawab soalnya dengan lebih pede dan yakin bahwa jawaban gue bener. Masalahnya adalah gimana kalau UTS ini punya porsi cukup gede di nilai yang bakal keluar di KHS entar. Aaaaak. Tapi semuanya sudah berlalu, yang tersisa tinggal penyesalan yang berulang. Haha. Lagian, yang kayak gini tuh bukan cuma kali ini doang aja kok. Kemaren-kemaren juga sering.

Selesai UTS MPP, temen-temen menunjukkan wajah lega yang bikin gue sirik. Iyalah, gimana nggak sirik, gue masih harus menghadapi satu UTS lagi setelah itu. Emm, emang sih mata kuliah ini gue ngulang gara-gara semester 4 kemaren gue pas lagi berantakan-berantakannya dan gue sering bolos dan telat ngumpulin tugas di mata kuliah ini. Hehe. Untuk itu, gue bener-bener bertekad memperbaiki nilai gue dengan cara mengikuti semua aturan main dari Pak Dosen. Untuk mata kuliah ini, gue sedikit sedikit sih udah belajar. Paling enggak, gue udah mempelajarinya setahun yang lalu, haha. Walaupun kadang kalau ada adek tingkat yang nanyain soal kuliah ini suka gue jawab dengan kalimat, "Kamu beneran tanya sama aku? Aku aja ngulang loh~", tapi sesungguhnya gue berusaha memperhatikan apa yang Pak Dosen bicarakan. Terbukti dengan kuantitas catatan gue yang lebih banyak daripada tahun lalu.

Ternyata bener, UTS Sistem Pendukung Keputusan ini nggak jauh beda sama UTS tahun lalu. Yap, sebagai sekelompok orang (iya, gue ngulang kuliah ini berlima) yang pernah mengalami kuliah ini di masa lalu tentu saja udah ngerti gayanya Pak Dosen kalau bikin soal. Beberapa ada yang gue inget, beberapa lupa. Satu hal yang mungkin bisa gue akui adalah gue lumayan ngerti mata kuliah ini justru ketika gue ngulang. Hihi. Alhasil, satu jam setelah waktu ujian dimulai, gue sama temen ngulang gue yang namanya Fiani udah selesai ngerjain. Pas bawa lembar jawaban ke meja Pak Dosen, kita diliatin sama adek-adek yang masih ujian dengan tatapan, "Mbak, serius ini kalian udah selesai? Aku aja masih susah memahami kalimatnya~". Hehe, dek mungkin kita nggak lebih pinter daripada kalian, tapi kita sudah pernah dapat ilmu seperti ini sebelumnya.

Begitu keluar kelas, beban yang seharian ini nempel di pundak rasanya copot semua. Gue duduk di kursi depan kelas sambil nunggu yang belum selesai ujian. Mengambil nafas dalam dan menghembuskannya. Gue sedikit merenung soal apa saja yang sudah berhasil gue lewati seharian tadi. Sederet aktivitas yang gue pikir nggak bakal bisa gue lewatin, ternyata bisa. Sederet kegiatan yang pengen banget gue skip skip aja dan nggak usah gue lakuin, ternyata bisa gue selesaikan. Gue nggak bayangin kalau beberapa aktivitas yang sudah direncanakan tiba-tiba batal. Itu hanya akan menunda sambil menambah beban yang baru. Gue emang bukan tipe orang yang gampang untuk memotivasi diri gue sendiri. Tiap gue ngerasa gue bakal susah ngadepin sesuatu, biasanya gue bakal cerita dulu soal apa yang gue takutkan. Tapi, mungkin cara gue bercerita menyebabkan orang-orang yang gue ceritain lebih nganggep itu sebuah keluhan. Hei pemirsa, tak tahukah terkadang aku hanya butuh, "Ayo, Peh. Semangat lah cuma kayak gini doang aja masak nggak bisa nyelesaiin?". Haha.

Udah sih gue cuma mau cerita itu aja di postingan ini. Intinya adalah, sebanyak apapun permasalahan yang menanti di depan, paling enak adalah dengan menghadapinya. Bukannya lari. Sebab lari hanya akan membuatmu terlena dalam kelegaan yang semu. Lari tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Just face it. Gue beberapa kali pengen bolos kuliah karena gue belum ngerjain progress proyek kuliah gue, tapi beberapa saat menjelang kuliah mulai, gue pasti membatalkannya. Yang sering gue bilang adalah, "Kalau ditanya ya tinggal dijawab. Kalau nggak bisa ya nyengir aja". Mungkin terkesan nyelelek, tapi itu yang sering gue lakukan untuk, yaa, paling tidak membuat gue berusaha untuk tidak lari. Emm kalau bolos yang kemaren itu emang karena gue niat bolos, padahal progress juga udah ada kok :3