31 Agustus 2013

Tawa yang Tertahan


Atas nama seluruh tawa pada hari ini, saya mau menyampaikan terima kasih untuk ketiga sahabat yang sudah bersama meluangkan waktu untuk menikmati 'late holiday' untuk semester kemarin. 

Sebenernya ide untuk perjalanan kali ini muncul saat ada rencana syawalan ke rumah Pak Totok selaku dosen Pembimbing Akademik kelas F PTI 2011. Rencananya, selain silaturahmi ke rumah Pak Totok, saya dengan teman-teman sekelas juga akan pergi bersenang-senang ke Pantai Baru. Tapi, setelah di konfirmasi ke Pak Totok, beliau meminta agar syawalannya dilakukan di kampus saja. Alhasil, rencananya dialihkan hanya untuk bersenang-senang. Sayangnya, seperti biasa, kurang mendapat respon positif dari teman-teman sekelas, hingga akhirnya pada hari ini hanya ada empat orang yang bisa ikut. But the show must go on... Kalu misalnya ini dibatalkan, wah, saya kecewa. Hehe. Udah bener-bener kebelet main dan kangen juga sama temen-temen....

Saya sms ke temen-temen yang mau ikut supaya kumpul di PKM jam 7 pagi. Nyatanya, sesampainya saya di PKM, teman sekelas saya hanya ada Budi. Dan setelah menunggu beberapa saat, kami memutuskan untuk berangkat saja karena kemungkinan besar memang tidak ada lagi yang ikut. Awalnya, kami akan langsung ke tujuan yaitu Pantai Baru di Srandakan, Bantul. Tapi ternyata, Fiani yang niat awalnya mau nyegat di jalan baru bangun jam setengah delapan lewat, kami memutuskan untuk mampir ke rumah Fiani terlebih dahulu.

"Assalamualaikum, Bu, Fiani nya ada?"
"Oh, ada mbak. Masuk... Fiani kalo dibangunin susah. Tukang tidur..."
*dalem hati* Muahahaha :D

Saya sama Budi duduk dan nunggu Fiani datang ke ruang tamu. Aaaaak, kangen rasanya, setelah dua bulan nggak ketemu karena sama-sama sibuk PI. Saya di Jogja, sementara Fiani sama Budi di Jakarta, kami cerita banyak banget. Tapi yang nggak berubah dari mereka adalah, mereka tetep medok. Budi tetep cepet banget kalau ngomong, dan Fiani tetep lucu. Malahan, saya ngerasa kalau tingkat kelucuan Fiani naik beberapa tingkat. 

Sebenarnya kami bertiga masih nunggu satu pasukan lagi yang diterjunkan langsung dari Kalibawang. Yup, Farid. Setelah nunggu beberapa lama, dia sampai dan kami berempat berangkat. Sempet ada insiden ketika Farid kepleset dan motornya jatuh ke cor-coran semen. Seperti biasa, bukannya nolongin, kami malah jahat banget ngetawain dia.

Skip. Skip. Skip.

Sesampainya di Pantai Baru sekitar jam setengah sepuluh, kami langsung menuju pinggir laut. Aaaaaaak, walaupun minggu kemarin saya udah ke Parangtritis, tapi ini rasanya beda. Parangtritis itu rame jadinya nggak terlalu asik, sementara Pantai Baru masih sepi tadi siang. Saya ngerasa kayak anak kecil yang udah bener-bener penat sama sekolahnya, terus diajakin orang tuanya liburan. Yak, kami berempat ini adalah mahasiswa tingkat tiga yang baru selesai masa Praktik Industrinya dan menyadari bahwa waktu liburan sudah nyaris habis. Untuk Farid, Fiani dan Budi, mereka kayaknya kangen banget sama laut yang kayak gini karena di Jakarta nggak ada :p Kalau saya, saya bukan kangen lautnya. Laut itu cuma perantara. Sebenernya saya kangen sama temen-temen sekelas saya, kangen main bareng sama mereka.

Ada anak ilang

Setelah dapet tempat yang cukup rindang, kami bermain air atau Budi menyebutnya dengan keceh (baca e nya kayak kalo baca kata 'kecewa'). Awalnya masih malu-malu sama ombak laut, jadi kami hanya menyingsingkan celana kami dan berlarian ketika ada ombak datang. Tapi semakin lama, dan karena Budi yang mengawali, akhirnya siram-siraman pake air laut. Haha. Sayangnya, kami nggak mempersiapkan baju ganti, jadi kecehnya tadi agak nanggung. Sedangkan keceh pamungkasnya adalah ketika Budi sedang membelakangi laut, kemudian ada ombak cukup besar yang menghantam badannya sampai bajunya basah.

Lega juga sih, akhirnya saya bisa jejeritan di pinggir laut. Puas rasanya bisa teriak sekenceng itu. Nggak akan ada yang denger karena angin disana terlampau kencang, dan suara ombak juga mengalahkan suara teriakan saya. Fiani juga nggak mau kalah, akhirnya kami teriak-teriakan berdua, sementara Farid dengan enaknya tiduran beralaskan jaket di atas pasir .____.

Pas semuanya udah kembali menepi ke tempat meletakkan tas, kami beli kelapa muda atau biasa disebut degan. Sebenernya ada yang lucu pas minta dibeliin degan, tapi kalo ditulis pake bahasa tulisan lucunya nanti hilang :p Kami beli empat degan. Posisi duduknya begini : Fiani bersebelahan dengan Budi. Budi bersebelahan dengan Farid dan saya duduk membelakangi Farid. Ketika saya akan berpindah tempat, otomatis saya berdiri, nah ketika saya berdiri, ternyata pasir yang menempel di pakaian saya rontok kedalam air kelapa milik Budi dan Farid. Tapi Budi lebih beruntung karena posisinya jauh. Sedangkan Farid.. Hahaha, masih ngakak kalau ingat yang itu :D

"Nggonamu gulane gula tebu tho? Nak nggonku gula pasir tenanan. Seko pantat meneh.."
"Kamu bikin rasa bersalahku naik 10 kali lipat, Rid"
"Emang itu tujuanku kok"
*menjep*

Nggak enaknya buat Farid lagi adalah, ternyata kelapa yang dia pilih terlalu muda, jadinya daging buahnya belum terlalu banyak :3 #pukpuk

Sama Fiani :3


Skip.

Setelah ngobrol ngobrol, kami kemudian mendokumentasikan diri sendiri alias foto-foto. Sayangnya tidak ada yang membawa kamera. Sehingga, diputuskanlah menggunakan kamera depan iPhone nya Farid yang punya resolusi 1,2MP (kamera depan HP gue yang cuma VGA jadi nggak laku :|). Nah, pas cari pencahayaan yang pas, ternyata susah. Kenapa? Karena saya terlalu item ._____________. Jadinya, wajah temen-temen yang lain kelihatan semua, sedangkan wajah saya tidak.

Fiani, Saya, Budi, Farid

Ternyata foto sambil kebanyakan ngakaknya juga bikin laper. Akhirnya kami memutuskan untuk makan disana. Farid kepingin makan kepiting, tapi kata Fiani, kalau tidak ada perahu merapat, kepiting agak susah dicari di tempat penjualan ikannya. Setelah diskusi singkat, akhirnya kami memutuskan membeli kerang hijau sebanyak 1,25kg dimasak asam manis, dan cakalang bakar.

"Mau pesen ikan apa?"
"Dulu pas kita makan disini sama Selfi itu, ikannya namanya apa sih?"
"Cakalang itu.."
"Cakalang apa becok? Cakalang apa kemalen?"
"Sekarang itu, Peh"

Seperti biasanya, perut-perut kami memang buas kalau urusan makanan. Farid sih ngakunya nggak buncit, tapi keliatan kok kalo buncit. Budi mah emang kurus. Kalau saya sama Fiani, emmm... emmm.... kami cuma seneng makan aja kok. Hehe. Oiyak, kan pas makan siang ini, Farid pesen kelapa muda lagi. Tapi sayang seribu sayang, kali ini kelapanya sudah tua. Memakannya pun penuh perjuangan karena daging buahnya susah di congkel. Duh, kasian betul :p

Bisa disimpulkan sendiri

Selesai makan, kami mampir kerumah Akhi untuk menjenguknya yang dikabarkan sedang sakit. Tapi tidak seperti pembesuk biasanya, sesampainya disana kami malah 'ngerusuh'. Saya ngantuk dan akhirnya minta di puk-puk sama Akhi sampai akhirnya ketiduran di kursi ruang tamu Akhi. 

Bangun-bangun langsung ditodong pertanyaan ini sama Akhi :
"Udah sampe mana Han, tidurnya? Kalasan?"

Haha, mendingan diem aja.

Ternyata Farid masih juga membahas soal pasir yang masuk ke kelapa mudanya tadi. Duh .______.

Daaaaan, tahukah.. Setelah itu kami makan lagi. Gara-garanya Farid kepingin makan mie ayam. Akhirnya kami makan mie ayam di dekat rumah Akhi. Selesai makan, kami kembali ngobrol. Kali ini soal golongan darah. Kembali Akhi bercerita kalau golongan darah O itu nggak setia, kalau golongan darah A itu perfeksionis. Kalau golongan darah B itu setia tapi suka telat. Sampai akhirnya membahas soal pernikahan, dan Farid nyeletuk supaya bikin Trophy yang nantinya bakalan digilir untuk teman-teman yang lebih dahulu melangsungkan pernikahan. Aaaak, kok saya jadi mikir nanti nikahnya sama siapa yak?

Berhubung sudah nyaris Maghrib, kami berpamitan pulang pada Akhi. Karena saya pulang bersama Farid, saya 'dipaksa' cerita supaya dia nggak ngantuk :p

"Kalau yang ini namanya delman rid, soalnya yang ngendarain cowok. Coba kalau cewek, namanya delwoman"
"Oooh, berarti kalau becak itu dari...."
"Dari Madura?"
"Iyak... Kalo dari jawa, namanya bemas. Kalo dari jakarta namanya bebang.."
"Kalo dari sunda, namanya be'a atau bekang.."
"Kalo dari timur, namanya bekaka" *sambil logat timur indonesia*

Pokoknya, terima kasih banyak untuk waktu luangnya hari ini. Terima kasih sudah mengembalikan saya kepada saya yang bisa tertawa lepas seperti dulu. Buat Fiani, buat Farid, buat Budi, buat Akhi... Saya.. Sungguh senang :)

Ini adalah tawa yang tertunda dan tertahan dua bulan.


26 Agustus 2013

Kolaborasi

Sepenggal lagu yang tiba-tiba bikin saya ngakak siang ini..

Hey kamu, hatiku dag dig dug saat aku melihatmu
Terjatuh di hadapanku, membuat aku buru-buru mendekatimu
Langsung ku tanya apakah kau baik-baik saja,
Kau bingung...
Mudah saja bagimu, mudah saja untukmu
Andai saja, cintamu seperti cintaku...
Selang waktu berjalan, kau kembali datang
Tanyakan keadaanku..
Ku bilang, memangnya aku jatuh darimana...
Kau bidadari jatuh dari surga dihadapanku..
Eaaaaaaa...
Kau bidadari jatuh dari surga tepat dihatiku..
Eaaaaaaaa...
Makasih Tri, Siti :)

25 Agustus 2013

Move On dan Dinamikanya


Hari ini saya jadi bahan bullying waktu evaluasi. Beberapa temen yang satu sie dan satu fakultas, dan udah sedikit banyak tau tentang saya ngeledekin saya terus. Em, saya disuruh 'gek ndang move on peh'. Sebenernya tadi pas ngoprek foto osp*k FT tahun kemaren, niatnya bukan mau cari foto masnya. Tapi mau lihat aja dokumentasinya kayak apa, eh temen-temen nangkepnya beda. Pokoknya malem ini udah di cap gagal move on #meratapiNasib

Kemudian sebelum pulang diajak makan juga sama beberapa temen. Em, dibilang deket sih enggak tapi ya kenal dan dia tau saya dan masnya dulu kayak gimana. Di tempat makan, saya ditanya sama mereka soal kenapa-bisa-sampe-udahan. Nggak banyak yang saya ceritain sih, cuma intinya aja. Temen saya itu juga nanya soal mbaknya. Soal masnya. Ya saya cuma jawab apa yang saya rasain dan saya alami serta saya lihat dengan kedua mata saya sendiri. Mereka ternyata nggak nyangka. Bahkan salah satu temen bilang gini, "Peh, ceritamu kok koyo sinetron sih...?", sebelum saya mulai cerita kejadiannya gimana.

Yang nonton aja sampe bisa bilang gitu, gimana saya yang ngejalanin? Hehe.

Ternyata saya sama masnya juga jadi perhatian temen-temen. Saya juga baru tau kalo pas open house ormawa 2013, temen saya yang tadi nanya juga udah nangkep sinyal nggak enak dari saya sama masnya. Dalam ceritanya, dia bilang gini "Kelihatan sih, Peh. Waktu Openhouse kemaren, aku lihat, dan aku ngerasa, wah ada yang nggak beres ini...". Duh, jebul ada yang merhatiin.

Lagi-lagi saya dinasehati, 'gek ndang move on peh'. Tapi kemudian saya jawab,  'mau move on ke siapa?'. Haha.

Kemudian pikiran absurd kembali muncul. Kali ini saya analogikan dengan gelas dan air

Kemudian ada beberapa akun teman yang merespon twit saya.




Jawabannya bervariasi yak?

Sebenernya analogi sederhana sih. Penjelasan untuk konteks tulisan saya adalah seperti ini. Gelas diibaratkan dengan 'hati saya', dan air diibaratkan dengan 'seseorang'. Saat ini posisinya gelas itu berisi air, tapi airnya sudah keruh. Kekeruhan itu berasal dari saking seringnya air dalam gelas itu diaduk dan diisi oleh berbagai macam bahan, misal gula, kopi dan susu. Kita sadar kalau air itu sudah tidak lagi layak untuk dikonsumsi, tapi kita bingung, mau dikosongkan dulu gelasnya baru mencari air pengganti, atau mencari airnya dulu baru mengosongkan gelasnya?

Mungkin mengapa ada yang sulit move on ya karena bingung itu. Mau melepaskan apa yang sudah ada dulu baru mencari seseorang pengganti, ataukah mencari pengganti dulu baru sekalian belajar melepas apa yang selama ini digenggam erat? Karena terkadang, hambatan seseorang untuk move on adalah karena hatinya masih bingung bagaimana cara mengikhlaskan, padahal sudah lama dilepas.

Misalkan, si A habis putus nih sama si B. Tapi si A masih sayang sama si B, karena banyak faktor yang mempengaruhi., diantaranya faktor K (Kenangan), LH (Lama Hubungan), KyD (Kesan yang Ditinggalkan). Nah si A ini tau kalo udah gak mungkin buat dia balik lagi sama si B karena si B udah lebih dulu bisa move on dan punya pengganti. Si A juga berfikir kalau dia harus move on karena nggak baik kalau berlama-lama terkurung dalam kenangan masa lalu. Si A juga tipe orang yang good looking, menarik. Banyak lawan jenis yang tertarik. Tapi si A bingung, haruskah berusaha mengikhlaskan dulu kemudian memilih, ataukah memilih dulu baru belajar untuk mengikhlaskan?

Mana ya yang lebih baik?

Kalau saya pribadi sih bisa jadi akan menjawab yang kedua. Menemukan, baru belajar mengikhlaskan. Karena saya akan merasa saya perlu memperjuangkan sesuatu. Dengan adanya seseorang yang lain, maka keikhlasan itu akan datang dengan segera. Saya jadi akan 'terpaksa' belajar mengubur keinginan tapi tanpa perlu merasa kehilangan keinginan yang lain. Tapi...

Siapa juga yang mau ngedeketin orang yang belum bisa move on dari masa lalunya? :p

gambar dari : locomostrip.com

24 Agustus 2013

Minta Tolong

Apa susahnya sih minta tolong langsung kepada orang yang ingin dimintai tolong?

Pernahkah diantara kita, pada suatu masa, membutuhkan bantuan orang lain, hanya saja kita tidak berani langsung meminta tolong kepada yang bersangkutan? Bisa jadi karena yang meminta tolong merasa segan minta tolong langsung, bisa jadi karena ada faktor lain. Bagi sebagian orang, mungkin tidak masalah. Apalagi jika situasi dan kondisinya memang tidak memungkinkan untuk meminta tolong secara langsung kepada yang bersangkutan, 'menitip' minta tolong bisa dimaklumi. 

Tapi bagi sebagian lainnya, mendapat titipan minta tolong padahal seharusnya bisa meminta tolong sendiri itu membuat mereka merasa tidak dihargai. Terlebih jika alasannya menitip minta tolong itu tidak rasional.

Mungkin ini tentang orang lain, mungkin ini tentang saya. Saya sekalian mengevaluasi diri, pernahkah saya seperti itu? Saya minta tolong ke si A tapi saya bilangnya ke si B dulu supaya si B saja yang menyampaikan ke si A. Alasannya karena, saya tidak suka dengan A.

Maka, hiduplah dengan baik kepada semua orang. Kita tidak pernah tau kapan kita akan membutuhkan bantuan dari orang lain yang tidak kita sukai. Atau bisa saja, orang yang tidak kita sukai itu suatu hari nanti menjadi seorang penyelamat yang bahkan jasanya tak akan pernah terlupakan :)

#semangatPagi

23 Agustus 2013

Pilihan dan Kehilangan

Malem ini kepikiran hal absurd.

Seandainya kita dalam sebuah kondisi dimana kita memiliki kedekatan dengan lawan jenis. Kalau hanya satu orang sih bukan masalah besar, tapi ketika jumlahnya tiga dan mereka punya kecenderungan dalam waktu dekat akan mengutarakan perasaannya pada kita. Namun, karena sejak awal, kedekatan yang kita bangun memiliki pondasi persahabatan, kita hanya menganggap kedekatan itu adalah kedekatan yang wajar selayaknya sahabat pada umumnya. Namun, ketika waktu menujukkan kesempatannya, mereka bertiga mengutarakan rasa tertariknya pada kita (nembak), dan saat itu berarti kita dihadapkan pada pilihan-pilihan...

Tapi dari sekian banyak pilihan yang ada, konsekuensi yang akan selalu ada dalam setiap pilihannya adalah, kita akan kehilangan. Entah kehilangan satu, dua atau bahkan ketiganya sekaligus. Ketika kita memutuskan untuk memilih salah satu, maka kita kehilangan dua. Ketika kita memutuskan untuk tidak memilih ketiganya, kemungkinan kita juga akan kehilangan ketiganya. Karena kita tidak mungkin memilih dua atau bahkan ketiganya.

Kenapa harus kehilangan? Ya, sadar atau tidak, kedekatan yang awalnya dikira hanya sebatas persahabatan itu ternyata dilihat dari sudut pandang seorang pencinta oleh para lawan jenis tersebut. Sehingga kedekatan yang timbul setelah perasaan 'ingin memiliki kita' itu muncul, bukan lagi persahabatan murni, tetapi karena ada modus terselubung di dalamnya. Ketika mereka mengetahui bahwa ada tiga orang yang berebut hati yang sama, kemungkinannya bisa jadi salah satu dari mereka menjauhi kita, merasa dirinya kurang pantas bersanding dengan kita, kemudian merelakan kita untuk orang lain dan mengubur dalam-dalam perasaannya pada kita. Atau bisa juga malah mereka bertiga semakin merasa tertantang dan paling ingin menjadi nomor satu dimata kita.

Padahal, hati kita tidak terletak pada mereka bertiga. Hati kita masih tercecer pada guratan perih yang mengembalikan hati kita dalam bentuk yang tidak lagi utuh. Suatu hari kita bercerita pada sahabat, dan dia memberikan pandangan, jika memang kita tetap bertahan pada hati yang entah sisanya berceceran dimana, kemungkinan kita akan kehilangan bukan hanya tiga, tapi sampai lima. Karena belum tentu seseorang yang dinanti lantas akan kembali, bahkan kita bisa juga kehilangan hati kita sendiri. Tetapi sahabat memberikan pandangan lain, kalau sebaiknya tidak usah memilih jika memang tidak merasa mantap. Khawatir suatu hari nanti, kita yang akan menyebabkan salah satu diantara mereka kecewa.

Kemudian, keputusan telah dibuat. Kita tidak memilih ketiganya..

Pada akhirnya, satu persatu pergi. Pergi mencari hati lain yang bisa mereka tempati..

nb. sepanjang perjalanan pulang dari kampus, cuma pemikiran absurd aja sih. bukan kisah nyata. apalagi pengalaman pribadi :)

20 Agustus 2013

We Are One, We Are Fighting for Indonesia

Dua tahun lalu, ketika saya menjadi salah satu orang yang duduk di tribun GOR UNY menyaksikan kemeriahan acara yang berlangsung selama sehari penuh, saya sempat berfikir, siapa yang mengkonsep acara sedemikian meriah?Ketika saya berdiri di salah satu tribun GOR UNY, menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, menyanyikan lagu Hymne UNY dengan khidmat. Saya sempat berfikir,  siapa yang berada di balik kesuksesan acara yang sedang saya nikmati ini?

Jawabannya, saya temukan tahun ini...

Mungkin perjuangan saya tidak sehebat teman-teman yang memeras keringat dari awal. Mungkin kebahagiaan yang saya rasakan tidak sebanding dengan kebahagiaan teman-teman yang lebih dulu merasakan pahitnya pengorbanan. Sebuah hal yang pernah saya pertanyakan dua tahun yang lalu, kini bisa terjawab. Bukan hanya jawaban dalam bentuk kata-kata, tapi dalam bentuk aksi nyata. Alhamdulillah, saya bisa menjadi salah satu dari keluarga di kepanitiaan OSPEK UNY 2013.

Saya bergabung dengan teman-teman Sie PDD. Awalnya sungguh terasa asing karena saya bukan tipe mahasiswa yang punya banyak rekan dan kegiatan selain di dalam Jurusan. Tapi, inilah momentum saya untuk bisa membuka lebih lebar lagi, pintu-pintu relasi yang bisa mengenalkan saya kepada teman-teman hebat di lain Jurusan, bahkan di lain Fakultas. Di Sie PDD, saya bisa mengenal Azmi, Aji, Nur, Tyas, Khilda, Joyo, dan Rizka. Kemudian ada banyak lagi teman-teman di luar Sie PDD yang juga bisa saya kenal. Di Sie PDD saya juga memiliki dua rekan dari Fakultas Teknik, Arif dan Faris.

Selama perjalanan kami di Sie PDD, banyak job description yang mesti dikerjakan. Mulai dari cocard, pdl, pembuatan maskot, social media, spanduk, video, dokumentasi sampai dekorasi panggung. Pembahasan konsepan mulai dilakukan. Dan ketika fix, kami mulai bekerja.

Pembuatan video pra ospek dilangsungkan di seluruh fakultas di UNY. Saya jadi punya pengalaman untuk jadi floor manager, jadi mic man. Buat saya, ini pertama kalinya. Mengarahkan teman-teman artis dibantu oleh Sie Acara. Proses pengambilan gambar berlangsung seharian, maklum, teman-teman artis bukan artis betulan sehingga butuh berkali-kali take gambar. Meskipun panas dan melelahkan, tapi kalau sesuatu dilakukan dengan hati yang senang, maka lelahnya tidak akan terlalu terasa.

Pembuatan dekorasi panggung. Kali ini saya absen beberapa kali ketika membuat dekorasi di rumah Faris karena saya juga sedang melaksanakan kegiatan Praktik Industri. 

Hal yang membuat deg-degan adalah ketika sudah H-2 yang bertepatan dengan 17 Agustus 2013, sementara masih ada desain yang belum masuk ke percetakan. Saya salut sekali dengan teman-teman yang laki-laki, pokoknya salut banget. Untuk Arif, untuk Aji, untuk Nur, untuk Faris. Semuanya profesional dalam mengerjakan tugas.

Ketika H-1, panitia OSPEK melakukan persiapan sampai tengah malam. Dekorasi yang dikerjakan dirumah Faris dibawa ke GOR UNY. Tapi sayangnya ada beberapa bagian dekorasi yang sempat rusak, tapi kami membetulkannya lagi dengan semangat. Saya tidak membayangkan bentuk tugu yang dibuat dirumah Faris seperti apa, tetapi ternyata hasilnya luar biasa keren. Sebagai penebus kesalahan saya karena tidak bisa ikut saat pembuatan, saya membantu membenarkan bagian-bagian yang rusak. Tapi saya malah tambah merusakkan tugu tersebut ketika saya sedang merekatkan tugu, badan saya menyenggol bagian tugu lainnya hingga lepas .__________. Saya juga merasakan mengecat tugu bersama Tyas dan Khilda. Walaupun tangan belepotan cat, saya senang. Saya senang bisa berhenti sejenak dari sesuatu yang instan seperti pada program editor gambar yang bisa langsung di klik, dan warnanya terganti.

Kemudian saya juga akhirnya bisa merasakan diamanahi PJ pemasangan spanduk. Mungkin agak lebay, tapi ini juga pertama kalinya saya mengkomando teman-teman saya. Semua perlengkapan, Alhamdulillah sudah lengkap di H-1. Saya juga sudah dapat kamera, setelah kesana-kesini cari pinjaman dan ternyata kebanyakan sudah keduluan di booking orang lain :|

Senin, 19 Agustus 2013

GOR UNY siap menyambut 5900 Mahasiswa Baru UNY 2013 :D

Setelah briefing dan sarapan, kami mulai menempatkan diri di posisi masing-masing sesuai dengan pembagian pada pertemuan sebelumnya. Saya mendapat jatah di lantai satu, mulai dari meja presensi sampai di sekitar FMIPA. Seharian penuh bertugas dengan sepatu fantofel itu rasanya sungguh menyiksa. Tapi menjadi saksi kemeriahan acara OSPEK UNY 2013, berada di tengah 5900 Mahasiswa Baru UNY, mengabadikan setiap momen yang mereka buat. FIP, FBS, FMIPA, FIS, FT, FIK dan FE yang semangatnya sungguh luar biasa menjadikan kesakitan itu saya abaikan. Terus bergerak, terus semangat untuk melaksanakan tugas.

Melalui Sie PDD, saya juga bisa mengabadikan kedatangan Bapak Rektor UNY, Bapak Menpora Indonesia dan segenap jajaran birokrasi Universitas lainnya. Mengabadikan kemeriahan yang menggetarkan hati siapapun ketika barisan Mahasiswa Baru yang duduk di tribun membentuk sebuah ombak yang tidak terputus. Dua tahun lalu, saya menjadi bagian dari mereka yang duduk disana.

Hingga acara selesai, wajah-wajah lelah dari teman-teman panitia mulai terlihat. Tapi saya yakin, dibalik kelelahan itu, ada kebanggaan serta kepuasan tersendiri menyaksikan segala macam konsepan yang dulu di rapatkan, kini sudah selesai diwujudkan dalam tindakan nyata. Selesai diwujudkan untuk menyambut kedatangan teman-teman Mahasiswa Baru UNY 2013.

Kini, kami memiliki keluarga baru di UNY. Mahasiswa Baru tahun angkatan 2013. Semoga derap semangat yang mampu menggetarkan GOR UNY itu tidak hanya berakhir bersamaan dengan berakhirnya OSPEK UNY 2013. Syukur-syukur semangat Mahasiswa Baru bisa menular pada kami, agar memotivasi untuk bisa lekas kembali duduk di salah satu tribun, menjadi wisudawan UNY.

Setelah teman-teman Mahasiswa Baru selesai melaksanakan OSPEK Universitas, kami membereskan perlengkapan kami. Spanduk-spanduk diturunkan, dekorasi dirubah, miniatur tugu di bongkar, kursi-kursi dibereskan, karpet digulung. Rasanya seperti tidak rela sebenarnya, masih ingin menikmati semuanya. Tapi waktu terus berjalan, esok hari akan ada Display UKM dan panitianya pun butuh persiapan.

Setiap Sie, setiap orang pasti merasakan efek berbeda setelah menjadi panitia OSPEK UNY 2013. Sungguh, pengalaman nyata dan berharga menjadi salah satu bagian dari penyambut teman-teman Mahasiswa Baru UNY 2013. Terima kasih untuk semua kesempatan yang telah Tuhan berikan kepada saya lewat Arif. Sebuah kesempatan yang nyaris saya lewatkan, tetapi pada akhirnya saya tetap ikuti. Terima kasih atas segala usaha dan upaya terbaik yang teman-teman lakukan. Curahan tenaga, waktu dan pikiran. Semoga kepanitiaan ini meninggalkan kesan mendalam untuk kita semua. Mohon maaf apabila selama menjadi bagian dari kalian, saya masih memiliki banyak kekurangan. 

Bersama panitia OSPEK UNY 2013 dan BEM KM UNY 2013

PDD Crew : Faris - Nur - Khilda - Azmi - Arip - Tyas - Ipeh - Aji - Joyo




Hidup Mahasiswa! Hidup Mahasiswa! Hidup Mahasiswa Indonesia!
OSPEK UNY 2013! We Are One, We Are Fighting for Indonesia!

Universitas Negeri Yogyakarta, semoga tetap berjaya....

14 Agustus 2013

Menuruti Keinginan


Seumur hidup, kita akan selalu punya keinginan. Ya karena kita hidup karena keinginan-keinginan itu, karena adanya keinginan, kita jadi mau bergerak. Karena adanya keinginan, kita punya motivasi. Semasa kecil misalnya, kita ingin sekali meminta dibelikan mainan kepada Ayah. Tapi ketika itu, Ayah tidak membelikannya karena kita masih punya banyak mainan bagus yang belum terpakai dirumah. Ketika itu, kita diajarkan bahwa tidak semua hal yang kita inginkan, bisa dipenuhi. Kemudian kita berhenti merengek. Di lain waktu, semasa SD, guru kita bertanya apa cita-cita kita. Kemudian diantara kita mengacungkan tangan sambil dengan bangga menyebutkan "Dokter", "Pilot", "Guru", " Pemain sepak bola" bahkan ada yang ingin jadi "Artis". Kemudian, di akhir pelajaran, guru akan menyampaikan agar kita terus mengejar cita-cita kita apapun yang terjadi.

Menjelang dewasa, keinginan itu tetap ada. Tapi isi keinginannya berubah. Bukan lagi minta dibelikan mainan, bisa saja keinginan itu sudah lebih condong kearah ingin punya pacar si A, misalnya. Tapi sayangnya si A ini nggak punya perasaan yang sama, kemudian pada akhirnya kita patah hati. Kemudian kita berhenti berusaha, bukan karena lelah tapi lebih ke arah menyadari bahwa ada hal yang tidak bisa dipaksa. Lain hal nya jika keinginan kita berupa keinginan untuk berprestasi, keinginan untuk bisa menjadi salah satu peserta student exchange ke negara tetangga, tentu saja sesulit apapun pasti akan ada orang yang mendukung kita agar kita bisa sampai pada keinginan itu.

Sebenarnya, keinginan merupakan bagian dari cita-cita, atau cita-cita merupakan bagian dari keinginan?

Menurut saya sih yang kedua. Cita-cita merupakan bagian dari keinginan. Kemudian, keinginan yang seperti apa sih yang pantas kita usahakan sampai titik darah penghabisan? Banyak quotes yang lalu lalang di depan mata saya. Ada yang bilang,

"Selama kamu yakin dengan apa yang kamu inginkan, kejarlah sampai dapat. Jangan menyerah"

Ada juga yang bilang,

"Tidak semua hal di dunia ini bisa kamu paksakan. Bersyukur dengan apa yang sudah diberikan Tuhan"

Kok semacam kontradiktif ya?

Saya pernah nanya ke salah seorang teman, detailnya lupa. Yang jelas ketika itu saya menanyakan bagaimana kalau keinginan kita berwujud manusia. Beliau jawab kalau yang itu kita cuma bisa berdo'a aja. Yah, setuju sih, berdo'a, minta sama Yang Punya. 

Pertanyaannya,
Kapan kita menyadari keinginan kita pantas diperjuangkan dan pantas dilepaskan? Semakin dewasa, keinginan kita semakin rumit. Ketika ditanya cita-cita, jawabannya pun sudah tidak sesederhana "Dokter", "Guru" dan lainnya. Keinginan orang dewasa menjadi lebih rumit, kecuali untuk orang-orang yang selalu menganggap hidupnya lempeng-lempeng aja. Ya memang, untuk apa sih hidup ini dibuat sulit? Wong hidup cuma sekali...

Tapi emangnya nggak pernah ya kepikiran sampe ke hal ini? Apa selama ini cuma melewatkan hidup dengan was wes, sampe tau-tau bisa bilang "Woh aku ki wis 20 taun tho? Ra kroso" Oh men, kemana aja? ._____.

Wah nglantur saya,

Oke balik lagi. Mungkin dengan semakin bertambahnya usia, sikap yang bisa kita ambil untuk keinginan-keinginan kita bisa kita pilih sendiri. Selama keinginan itu baik dan benar, serta tidak merugikan orang lain, kejarlah sampai dapat. Tapi ketika keinginan itu kurang baik dan kurang benar, serta bisa menimbulkan efek negatif buat orang lain, pikirkan ulang jika ingin diperjuangkan.

Contoh simpel nya sih misalnya kalau kita udah punya pacar, tapi kita suka sama seseorang. Terus kok kayaknya orang itu juga ngasih sinyal bagus. Sementara, gara-gara kita ketauan suka sama orang lain itu, hubungan sama pacar jadi agak renggang. Nah, bingung kan mau ambil sikap gimana. Sementara seseorang itu juga kok kayaknya suka juga sama kita. Nggak usah munafik, kita pasti punya keinginan buat mutusin pacar kita, dan punya keinginan untuk jadian sama seseorang yang kita suka kan?

Nah, kalau kalian ada di 'keinginan-keinginan' semacam itu, kalian akan bersikap gimana? :)

#bukanCurhatLoh ._.
*capek gue dikira curhat mulu*

Updated :
Jebul aku pernah nulis ini :)


12 Agustus 2013

Diomongin Dong

Nggak cuma sekali saya punya banyak sekali ide di kepala, sudah disampaikan ke orang lain, tapi nggak bisa direalisasikan karena saya nggak bisa menyampaikan dengan baik apa yang saya mau. Istilahnya, nggak punya argumen yang beralasan. Saya mau ini. Caranya, langkahnya, bayangannya udah ada semua di kepala saya, tapi begitu disampaikan ke orang lain jadi njelimet nggak karu-karuan. Begitu ngomong langsung muter-muter nggak jelas dan malah bikin orang lain bingung.

Ngomong di depan temen biasa aja belibet, apalagi ngomong di depan orang yang ditaksir. Riweh kuadrat mungkin.

Kasus pertama, pas ngerjain proyek RPL. Kan di apps yang saya dan temen-temen bikin itu kan ada fitur 'search', nah saya nyumbang ide nih buat fitur itu. Saya maunya A, temen saya maunya B. Di kepala saya udah nangkep nih kalo kita pake A, nanti bakal gini gini gini. Temen saya juga ngungkapin rencana B. Tapi karena saya nggak bisa berargumen buat meloloskan ide saya, alhasil yang diterima adalah idenya B. Kemudian begitu di tes sama bu Dosen, bu Dosen lebih sreg pake metode A yang pernah saya rencanain. Ya mau nyalahin siapa coba kalo gitu, kan yang nggak bisa menyampaikan pendapat saya ._.

Kasus kedua, pas rapat interen sie Pendaftaran semjur. Pas diskusi, kita nemu banyak banget pertanyaan tapi kita belum nemu jawabannya karena harus diskusi sama pak ketua. Kita juga udah punya bayak konsepan nih. Berhubung pak ketuanya ada di deket tempat kita rapat, jadi kita minta pak ketua buat dateng. Begitu pak ketua dateng, jejeng.... Saya kehilangan banyak hal yang mau saya tanyain. Untung aja sebelum pak ketua dateng, saya sempet nulis apa yang mau saya tanyakan dan laporkan. Nah, pak ketuanya kan udah baca tuh, begitu dianya tanya ke saya penjelasannya gimana, lagi-lagi omongan saya belibet nggak karuan. Yang ada saya malah plarak-plirik ke temen saya, nyari dukungan, minta tolong dibantuin ngomong.

Dan yang ketiga, tadi pagi. Diminta software testing sama temen PI. Saya nemu beberapa bug, dan udah saya sampaikan ke temen itu, tapi dia ternyata punya argumen sendiri atas bug nya. Terus saya nyoba jelasin pendapat saya, tapi kebanyakan cuma amm emmm ammm emmm doang soalnya ya itu, susah banget ngomongnya -____________- Sampe sedikit eyel-eyelan, tapi ya nggak sampe jotos-jotosan gitu.

Tapi, temen saya yang terakhir itu bisa paham juga maksud saya apaan setelah saya memutuskan untuk menuliskannya daripada membicarakannya. Dia bisa mendekripsi kalimat saya dan akhirnya mau menerima bug yang saya sampaikan tadi untuk selanjutnya diperbaiki.

Saya boleh salah fokus?
Dia selalu bisa menerjemahkan kesulitan berbahasa saya :)

Saya udah sempet nyampein hal ini ke salah seorang temen waktu diskusi kecil di depan sekre. Dia nggak banyak komentar sih, ya cuma pasang kuping aja dengerin cerita saya soal kesulitan ini. 

Oke, jadi yang saya butuhkan adalah kesempatan lebih buat :
1. Belajar lagi gimana caranya menyampaikan pendapat yang baik. Saya nggak boleh bergantung sama orang lain. Masa iya nanti saya mau kesana kesini kudu bawa translator bahasa saya? Haha.
2.  Praktik~ Praktik ngomong di depan banyak orang lagi.
3.  Baca banyak buku. Mungkin nggak bisa berargumen karena kurang wawasan, jadi mau ngomong ini takut salah, mau ngomong itu takut salah.

Yah, selamat belajar kembali, Han :)

Trah Kirnopawiro 2013






SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1 SYAWAL 1434 H
"Taqabalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum"

Tahun ini keren beud trah nya. Walaupun capek karena jadi sie acara, sie pdd, sie perkap dan sie humas, tapi seneng rasanya bisa kumpul sama keluarga sebanyak ini. Kesempatan setahun sekali.

Semoga kami semua masih diberikan kesempatan bertemu Idul Fitri Tahun depan.
Aamiin :)

4 Agustus 2013

Merantaulah

"Merantaulah. Itu yang membuatmu tau kenapa kamu harus pulang"
Pepatah itu baru beberapa waktu lalu saya baca, dan saya sudah benar-benar bisa memahaminya sekarang. Sebagai anak yang menuntut ilmu jauh dari orang tua, pasti akan rindu dengan suasana rumah. Di awal masa perantauan saya dulu, tahun 2011, rasanya masih menggebu-gebu banget suasana pengen lepas dari rumah. Apalagi saya 18 tahun tinggal sama orang tua, dan nggak pernah pergi jauh dalam jangka waktu yang cukup lama dari mereka.

Jogja. Jogja memang pilihan saya sejak saya kecil. Sewaktu saya kecil dulu, ternyata saya cukup visioner. Hehe. Saya selalu menjawab "nanti mau kuliah di Jogja terus jadi guru" tiap ditanya sama orang-orang. Ketika itu motivasi saya hanya karena saya senang dengan atmosfir Jogja. Yang ada di pikiran saya ketika kecil dulu, tinggal di Jogja itu enak. Udah. Alhamdulillah Tuhan menjawab doa saya dengan memilihkan Universitas Negeri Yogyakarta.

Awal masa perantauan, saya pulang tiap liburan semester. Bisa dibilang lima-enam bulan sekali. Waktu itu saya masih bener-bener menikmati masa transisi saya dari siswa yang jarang banget main jadi mahasiswa yang bisa bebas kemana-mana. Masih seneng-senengnya temenan, masih mengeksplor diri dan beradaptasi dengan lingkungan serta orang-orang Jogja, sering banget main. Pokoknya masih selalu seneng setiap saat. Tiap punya kesempatan pulang, selalu ada rasa bahagia. Bahagia bisa ketemu orang tua lagi, bahagia bisa menjenguk dan berbakti buat mereka lagi. Dan ketika kembali ke Jogja untuk merantau lagi, saya juga bahagia. Bahagia karena saya punya dunia baru yang ingin saya gali lebih dalam lagi.

Sampai pertengahan 2012 kemarin, saya merasa motivasi saya pulang hanyalah karena keberadaan orang tua saya di Bogor. Selebihnya, hidup saya sudah di Jogja. Saya merasa nyaman. Saya merasa bisa dengan bahagia menjadi salah satu bagian dari kota pelajar ini. Terlebih, ada yang merindukan kepulangan saya ke Jogja lagi. Entah apakah kesalahan pemahaman soal pulang itu mulai berawal dari sini. Ketika saya pulang pada masa itu, saya merasa ingin lekas kembali ke Jogja. Hati saya tertambat di dua tempat. Bogor dan Jogja. Entah mana yang memiliki presentase lebih besar.

Awal 2013, kepulangan saya ke Bogor juga sudah direncanakan. Ketika itu liburan semester ganjil. Entah kenapa saya merasa ada sesuatu yang salah dengan kepulangan saya kala itu. Benar saja, ada masa-masa berat yang harus saya hadapi dalam kepulangan saya kala itu. Permasalahan jarak jauh yang sempat membuat saya sakit menjelang kepulangan saya ke Jogja. Dalam kondisi yang masih sakit itu, saya harus kembali ke Jogja. Ternyata saya tidak kuat menahan semuanya sendiri disana. Saya butuh pulang.

Saat ini, pertengahan tahun 2013. Saya kembali pulang. Kali ini saya merasa perlu kembali karena saya tau, ada sebuah tempat dimana saya bisa menemukan kembali semangat saya yang sebenarnya. Karena saya tau, ada sebuah tempat dimana sesungguhnya motivasi sebenarnya berada.

Saya baru mengerti hakikat pulang yang sebenarnya. Pulang adalah ketika saya merasa berada diantara orang-orang yang selalu memposisikan saya sebagai penggenap. Sehingga tanpa adanya saya, semuanya terasa ganjil. Pulang adalah ketika sejauh apapun kita pergi merantau, kita selalu ingin kembali pada satu titik dimana kita bisa me reset semuanya dari awal lagi. Pulang adalah sebuah keadaan dimana hanya ada ketentraman disana.

Cinta itu melepaskan. Melepaskan untuk pergi sejauh-jauhnya, sebebas-bebasnya. Karena jika memang cinta, dia akan kembali pulang. Begitu pula orang tua kita, rela melepas kita pergi merantau sejauh-jauhnya. Demi segala harapan yang mereka gantungkan, serta cita-cita yang ingin kita gapai. Hingga suatu hari nanti, saat semuanya sudah berhasil dijalani, akan ada masa dimana kita membawa hasil yang telah kita dapatkan untuk dibawa pulang. Entah hasilnya baik ataukah buruk.

Bukankah pada prinsipnya, hidup kita juga merupakan ladang perantauan?

Dan untuk tahu benar rasanya pulang, merantaulah :)

Penerbangan Ketiga

Jum'at kemarin (2/8) saya akhirnya meninggalkan Jogja buat sementara waktu. Meninggalkan segala macam aktivitas yang setiap hari kudu saya temui, meninggalkan ruangan di sebelah Unit JPD, meninggalkan PKM FT UNY, meninggalkan SC UNY tempat dimana saya menghabiskan banyak waktu beberapa waktu ke belakang. Udah sumpek banget di Jogja, dan dalam kesempatan liburan yang amat-sangat terbatas waktunya ini, saya menyempatkan diri untuk pulang ke rumah. Menjenguk tanah saya dibesarkan, Bogor.

Sebenernya udah dari lama banget pengen pulang, dari jamannya ujian semester yang berlangsung bulan Juni kemaren. Tapi apa daya Tuhan belum ngasih saya jalan buat pulang. Masih banyak amanah yang harus diselesaikan dengan baik. Masih banyak tanggungan dan urusan yang juga perlu diselesaikan. Alhasil saya juga harus menunda kepulangan dan menahan kerinduan saya terhadap Bogor ini.

Alhamdulillah, akhirnya punya kesempatan juga. Tuhan memuluskan rencana liburan saya di Bogor. Mulai dari perencanaan, pemilihan sarana transportasi sampai pemilihan hari saya rundingkan dengan kedua orang tua saya di Bogor. Kayaknya yang udah kebelet kangen bukan Cuma saya, terbukti dari sms yang saya terima dari ibu, yang lebih banyak bertanya soal "Mbak, kapan pulang?". Rasanya nggak sabar banget nunggu hari H tiba.

Setelah memastikan semua sudah bisa ditinggalkan, saya pulang. Babay Jogja, babay kepenatan, babay masa lalu #eh

Siang kemarin, saya dianter sama anaknya Bude saya ke Adi Sucipto. Ya, kali ini saya kembali memilih pesawat sebagai perantara saya sampai ke Bogor. Kenapa? Sederhana saja sih, saya Cuma ingin lekas sampai. Setelah check in, saya membayar pajak dulu sebesar Rp. 35.000. Tiap bandara beda sih tarif pajaknya, di soetta misalnya Rp. 40.000 (Maret 2013). Nggak tau kalau di bandara yang lain.

Tidak seperti pengalaman pertama dan kedua saya naik pesawat, kemarin itu saya harus menunggu pesawat yang delay sampai lebih dari 45 menit. Selama di waiting room, saya sambil memperhatikan orang-orang yang ada disana. Ada yang tilawah, ada yang asik banget sama gadgetnya, ada yang ngobrol seru banget, ada juga bule yang wara wiri dengan pakaian yang….emmm :| no komen. 

Jadwal take off yang seharusnya jam 14.45, molor sampai jam 16.05. Kayaknya sih penyebab delaynya karena lalu lintas udara yang rame jadinya pesawatnya kudu ngantri gitu, maklum udah masuk arus mudik. Di dalem pesawat, saya diapit oleh dua bapak-bapak. Kami sempet ngobrol sedikit, dan saya jadi baru tau kalo ternyata kita bisa pesen seat yang deket jendela waktu check in. Haha. Sempet ada insiden yang lumayan ngganggu waktu ada salah satu penumpang yang ternyata salah naik pesawat. Bukan karena apa-apa, tapi karena saya cukup terganggu dengan kalimat protes yang dilontarkan bapak itu di dalam pesawat. Tapi saya mencoba buat nggak terlalu mendengarkan dan mencoba asik sendiri sama majalah yang sedang saya baca.

Setelah semuanya beres dan pesawat udah ancang-ancang mau terbang, saya mulai berdo'a. Bismillahi majrehaa wa mursahaa inna robbi laghfururrohiim. Ya Allah lindungi saya selama perjalanan, semoga saya sampai di rumah dalam keadaan tak kurang suatu apapun. Aaamiin. Sempet agak kaget karena take offnya agak berbeda dari penerbangan pertama dan kedua saya dulu. Emang sih katanya kalo take off sama landing itu bikin kuping pengang karena tekanan udaranya berubah, tapi kali ini beda aja rasanya, nggak se enak dulu.

Selama satu jam di ketinggian lebih dari 20.000 mdpl itu saya nggak bisa nahan supaya terus melek. Akhirnya saya tidur saking capek dan ngantuknya. Untung aja nggak sampe nyender-nyender ke bapak-bapak di sebelah saya. Habisnya bosen sih, mau tilawah, posisinya nggak enak. Mau ngelihatin jendela juga nggak enak posisinya. 

Jam 17.10 pesawat yang saya tumpangi sampai di Bandara Soekarno Hatta. Welcome to Jakarta, kata saya ke diri saya sendiri. Landingnya terhitung mulus dibandingkan kedua penerbangan saya sebelumnya. Setelah dibawa berputar-putar selama lebih kurang 10 menit di landasan, pesawat akhirnya benar-benar berhenti. Saya kemudian turun dan menuju pintu keluar bandara. Yang pertama kali saya kabari kalau saya sudah mendarat adalah ibu saya, hehe.

Berhubung sudah bisa memperkirakan kalau saya bakalan buka puasa di perjalanan ke Bogor, saya nyiapin takjil ala saya . The kemasan botol plus sebungkus roti boy siap menemani perjalanan saya menuju Bogor. Kali ini saya nggak dijemput sama orang tua saya kayak dulu, tapi saya harus naik bus DAMRI sampai Citeureup baru kemudian orangtua saya jemput disana.

Dari pintu keluar terminal satu, kalau mau ke shelter DAMRI nya tinggal nyebrang aja kok, nanti ada tulisannya. Tujuannya macem-macem, ada yang ke Thamrin, ada yang ke Tj. Priok, ada yang ke Cilegon dan yang pasti ada yang ke Bogor. Untuk tujuan Bogor, dipatok tarif sebesar Rp. 45.000. Mahal? Emm, menurut saya standar sih. Dengan fasilitas bus AC yang super nyaman ditambah koneksi wifi yang lumayan ngebut. Dijamin bikin betah.

Jalanan Jakarta petang itu lumayan lengang. Mungkin sebagian penduduknya udah pada mudik kali ya.  Saya duduk di baris ketiga dari belakang, sebelahan sama mbak-mbak cantik yang pas buka puasa, nyoblos air mineral sampe airnya muncrat kemana-mana. Saya ngecek handphone supaya bisa koneksi ke wifi nya bus, tapi ternyata ada passwordnya.  Bingung mau tanya sama siapa, akhirnya saya tanya di twitter. Tapi belum ada yang reply, saya udah keburu ketiduran. Bangun-bangun udah mau sampai di Cibubur, kemudian saya ngecek HP saya lagi. Ada beberapa mention masuk. Dari Nevira sama Keninda, mereka bilang password wifinya itu biasanya sama kayak nama wifinya. Jleger ._______.

Kemudian saya coba, aaaaand it works saudara-saudara. Ah sayangnya bentar lagi turun. Padahal lumayan buat ngupdate aplikasi. Hehe.

Pas kenek bus nya nanya siapa yang turun di Citeureup, lantas saya maju. Pas udah sampai di belakang supir, saya lihat ada tulisan username sama password wifi di bud itu. Wah, tapi gimana saya mau tau, lha tulisannya aja kecil banget, udah gitu sepenglihatan saya, Cuma ada satu di bus yang saya naikin itu.

Akhirnya saya ketemu kedua orang tua saya lagi. Aaak kangen bener deh :) Sayangnya nggak bisa langsung cium Radit karena Raditnya udah tidur. Saya sampai rumah sekitar jam 20.00. Nggak langsung tidur, tapi cerita-cerita banyak dulu. Ah, rumah udah banyak yang berbeda…

Biaya perjalanan Jogja-Bogor :
Tiket Pesawat Lion Air 365.000
Pajak Bandara Adi Sucipto Jogja 35.000
Tiket Bus DAMRI tujuan Bogor 45.000
Total 445.000

Oiya, itu saya bisa dapet tiket segitu karena pesennya jauh-jauh hari :3