27 Februari 2013

Puisi

Aku yang pernah engkau kuatkan
Aku yang pernah kau bangkitkan
Aku yang pernah kau beri rasa

Saat ku terjaga
Hingga ku terlelap nanti
Selama itu aku akan selalu mengingatmu

Kapan lagi kutulis untukmu
Tulisan-tulisan indahku yang dulu
Pernah warnai dunia
Puisi terindahku hanya untukmu

Mungkinkah kau kan kembali lagi
Menemaniku menulis lagi
Kita arungi bersama
Puisi terindahku hanya untukmu...

Jenuh

Kadang, ada suatu masa dimana kita mulai jenuh terhadap rutinitas yang kita lakukan. Entah apapun penyebabnya. Bisa jadi karena pekerjaan kita terlalu monoton, bisa jadi karena kita nggak bisa dapat kebebasan dari rutinitas kita, bisa jadi karena kita mulai kehilangan cinta terhadap rutinitas kita.

Rasa jenuh itu manusiawi. Tapi jika berlanjut dengan perasaan terkekang, pasti ada suatu yang salah. Dimanakah salahnya? Rutinitas itu terlalu mengikat kah? Rutinitas itu terlalu memaksa kita mengikutinya tanpa bisa bertindak seperti apa yang kita inginkan kah?

Ketika kejenuhan itu mulai melanda, mungkin kita hanya butuh bergeser sedikit sejenak dari rutinitas kita itu. Pergilah ke suatu tempat yang paling senang kamu kunjungi. Buang segala kejenuhan, dan ingatlah bagaimana dulu cara kita berjuang untuk mendapatkan rutinitas itu, masa-masa bahagia saat kita bisa mendapatkan hasil positif dari rutinitas itu. Dan kejenuhan ini adalah salah satu ujian terhadap konsistensi kita terhadap rutinitas yang sudah kita pilih. Menyerah? Mundur? Apa kita yakin itu malah akan membuat kita menjadi lebih baik?

Rasa terkekang juga manusiawi. Tapi orang lain bukanlah peramal yang bisa membaca apa yang kita pikirkan. Jadi, bicaralah. Sebelum semuanya terlalu jauh mengikatmu, katakan padanya bahwa kita juga ingin punya dunia kita sendiri. Jika kita meninggalkan rutinitas kita karena kita merasa terkekang, ibarat menggenggam pasir. Kita nggak bisa sembarangan menggenggamnya, karena pasir itu akan keluar melalui sela-sela jari kita. Mungkin jumlah yang keluar tidak hanya sedikit. Tapi ketika kita menyadari bahwa ada sesuatu yang salah, segeralah perbaiki posisi tangan kita dan selamatkan sisa-sisa pasir yang masih tergenggam. Itu yang kita jadikan modal awal kita lagi untuk membangun semangat menjalani rutinitas kita.

Lalu, bagaimana jika kita terlanjur mengambil keputusan untuk melepaskan diri dari rutinitas tersebut? Butuh waktu untuk menyadari apakah keputusan itu benar atau salah. Tapi coba lihat dari sisi rutinitas yang kita tinggalkan. Kita meninggalkannya, padahal kita diberi tanggung jawab untuk menyelesaikannya. Mencari rutinitas baru? Apa kita yakin, kita tidak memiliki beban mental untuk memulai lagi, padahal rutinitas kita yang lama kita abaikan begitu saja? Semesta tidak akan berhenti memberi kita kesempatan, jika kita ingin kembali.


Apakah menyibukkan diri dengan harapan agar tidak terlalu terifikirkan akan suatu hal itu akan berdampak baik? Apakah itu juga termasuk bohong terhadap diri sendiri?

13 Februari 2013

Tanya untuk Jogja

Jogja, apa yang kamu lakukan padanya selama aku pergi?

7 Februari 2013

Februari

Februari. Em, biasa ya, cuma bulan kedua yang berulang setiap tahunnya. Tapi Februari 2013 kali ini nggak kayak Februari di tahun-tahun sebelumnya yang terlewatkan biasa saja. Februari 2013 adalah saatnya mengencangkan ikat kepala, ikat pinggang, ikat rambut atau ikatan tali cinta *halah*. Semuanya harus serba diiket, bukan biar spaneng, tapi biar nggak pecah fokusnya. Iya, gue tau ini bener-bener nggak nyambung tapi yaudahlah biasa aja ya hehe..

3 Februari 2013

Bisakah aku sehebat ibu?

Menjadi seorang wanita itu tidak mudah. Terlebih jika sudah menjadi seorang ibu yang memiliki anak. Ketika sang anak sakit, dan dalam waktu yang sama dirinya juga sedang sakit. Ibu lebih memilih untuk mendahulukan memperhatikan kesehatan anak daripada kesehatan dirinya sendiri. Padahal di waktu yang sama, ibu membutuhkan perhatian yang sama dengan apa yang ia berikan pada anaknya. Itulah ibu, wanita paling tangguh, wanita paling sabar, wanita paling kuat, wanita paling hebat sedunia. Ia hanya memberi, dan tak pernah mengharap kembali.

Suatu hari nanti, aku akan menjadi seorang ibu untuk anak-anakku. Dan aku pasti akan mengalami hal serupa. Bisakah aku sehebat ibuku?